Dana Pungutan Ekspor CPO Dibagi-bagi ke Perusahaan Sawit “Kelas Kakap”  

822

RADARINDO.co.id-Medan: Minyak goreng (migor) tetap namanya minyak goreng, atau lebih popolur bagi emak- emak disebut “minyak makan”. Kelangkaan migor di Indonesia dianggap sungguh aneh. Padahal jutaan hektar pohon sawit terbentang luas seharusnya sudah surplus memenuhi kebutuhan masyarakat.

Namaun kenyataanya justru justru sebaliknya. Bahkan kondisi ini telah menjadi suatu cermin yang retak dengan meninggalkan goresan kepedihan mendalam dihati rakyat Indonesia dimana keadilan untuk melangsungkan kehidupan. Ada oknum mafia CPO dan Migor yang merampas hak kedaulatan rakyat. Karena sesungguhnya negara melalui pemerintah wajib memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Baca juga : Ketua DPW Himpak Chandra Lingga Berbagi Sembako ke PA Al-Washliyah

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Kemendag) Indasari Wisnu Wardhana (IWW) telah dijadikan tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunanya bulan Januari 2021 sampai Maret 2022.

Penetapan IWW sebagai tersangka oleh tim penyidik Kejaksaan Agung mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia. Berhasil menciduk oknum diduga sebagai mafia CPO dan Migor yang tega melihat penderitaan masyarakat Indonesia akibat kelangkaan Migor dan kalau pun ada harga migor mahal nyaris tak terjangkau konsumen.

Berkat kelicikanya mereka berhasil menjual CPO dan Migor keluar negeri dengan keuntungan yang berlipatganda. Bersama perusahaan sawit dan CPO mengutamakan ekspor ke mancanegara. Membiarkan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

Setelah Kejaksaan Agung menetapkan beberapa tersangka perusahaan raksasa ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO), awalnya “horee” kini berubah jadi “huuu”. Hasrat ingin bersorak gembira tertahan sejenak. Pasalnya harga Migor ternyara belum turun.Kelompok mafia CPO dan Migor telah dijadikan tersangka, namun harga migor masih seperti biasa.

Dibalik kelangkaan Migor ternyata ada hikma besar yang perlu disikapi secara cermat dan cerdas. Apa itu? Dana Pungutan Eksport (PE) CPO subsidi program Biofuel yang diberikan kepada pengusaha sawit kelas kakap selama bertahun – tahun.

Adanya pungutan pajak ekspor CPO itu tidak semua pihak tahu karena entah kapan dan dimana disosialisasikan. Bagaimana mekanisme dan apa tujuanya pemberian dana pungutan ekspor CPO kepada konglomerat, mengapa tidak diberikan untuk membiayai program kesehatan atau pendidikan.

Yang jelas, dana PE Crude Palm Oil (CPO) subsidi program biofeul mencapai triliunan rupiah itu telah mengalir ke dompet konglomerat. Perusahaan perkebunan sawit raksasa serasa mendapat durian runtuh selama bertahun- tahun.

Pungutan pajak ekspor itu diberi nama dana subsidi program biofuel. Mengapa pemerintah Indonesia memberikan dana subsidi perusahaan ke perusahaan sawit kelas kakap hingga triliunan rupiah. Sampai saat ini sebagian besar pihak termasuk mahasiswa belum mengetahui. Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015, belum ada pihak yang menguji.

Konon badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Tentu BPDPKS membuat persyaratan mutlak bagi penerima dana pungutan ekspor CPO bagi perusahaan sawit. Salah satunya UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Pasal 57 (1) Untuk pemberdayaan Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan melakukan kemitraan Usaha  Perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab.

Surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, nomor 11/SE-HK.02.02/VIII/2020 tentang pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, tanggal 27 Agustus 2020.

Bahwa kegiatan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 64 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Maksud danTujuan Maksud dan tujuan dari Surat Edaran ini sebagai pedoman bagi pelaksana dalam penerapan ketentuan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat bagi pemegang Hak Guna Usaha.

Ruang lingkup yang diatur dalam surat edaran meliputi tujuan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Kriteria masyarakat sekitar, Kriteria kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Penetapan petani peserta fasilitasi kebun masyarakat. Bentuk fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dan Hak atas tanah bagi petani peserta.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha perkebunan dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar melalui kegiatan perkebunan.

Menciptakan struktur produksi perkebunan yang berkeadilan dengan melibatkan peran sertamasyarakat. Meningkatkan efektivitas dan produktivitas lahan perkebunan secara berkelanjutan. Meminimalisir konflik penguasaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar dan menghindari munculnya mafia tanah.

Pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditujukan untuk masyarakat sekitar, dengan criteria, masyarakat    petani yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan. Masyarakat petani yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi kegiatan perkebunan dalam satu wilayah kabupaten.

Diutamakan yang berpenghasilan rendah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Penerapan ketentuan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, dikenakan untuk pemohon Hak Guna Usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas.

Yang mengajukan permohonan Hak Guna Usaha pertama kali dengan luas 250 Ha (dua ratus lima puluh hektar) atau lebih, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20% dari luas tanah yang dimohon Hak Guna Usaha.

Pemerintah memberikan kucuran dana pungutan ekspor CPO perusahaan sawit berskala besar mendapat subsidi dari pemerintah sebesar triliunan rupiah sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel. Dana subsidi program biofuel periode Agustus 2015-April 2016 telah diberikan kepada:

  1. PT. Wilmar Bionergi Indonesia
  2. PT. Wilmar Nabati Indonesia
  3. Musim Mas Grup
  4. PT. Eterindo Wahanatama
  5. PT. Anugerahinti Gemanusa
  6. PT. Darmex Biofuels
  7. PT. Pelita Agung Agrindustri
  8. PT. Primanusa Palma Energi
  9. PT. Ciliandra Perkasa
  10. PT. Cemerlang Energi Perkasa
  11. PT. Energi Baharu Lestari.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Agribisnis, Musdalifah Machmud, pernah mengatakan bahwa pemerintah percaya bahwa turunnya harga karena suplai berlebih, jadi harus konsumsi di dalam negeri lebih besar.

Penyerapan minyak sawit terbesar adalah biodiesel atau bahan bakar campuran solar dengan minyak sawit. Musdalifah menjelaskan bahwa sawit dipilih karena sudah mempunyai kebun dan teknologi. Penambahan pengamanan di kelapa sawit, mencegah pencurian atau intimidasi warga.

Sejak tahun 2015 perusahaan yang melakukan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) wajib menyetorkan pungutan ke pemerintah. Dana subsidi diperoleh dari pungutan ini sebesar US$50 per satu ton minyak sawit. Image caption Biodiesel merupakan campuran solar dan produk tanaman,

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015. Badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Ketua BPDPKS adalah Dono Boestami pernah menjelaskan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani Presiden.

Sesiai tertuang dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa dana yang dihimpun adalah untuk pengembangan sumber daya manusi, penelitian dan pengembangan perkebunan sawit, promosi perkebunan kelapa sawit, peremajaan tanaman perkebunan, serta sarana dan prasarana perkebunan sawit.

Ayat (2) dijelaskan bahwa penggunaan dana termasuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Ayat (3) menyatakan BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasarkan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.

Konon berdasarkan hitungan BPDPKS rata-rata insentif dana biodiesel pada periode bulan Januari-Oktober 2017 sebesar Rp4.054 per liter. Apabila mengacu pada besaran tersebut, maka BPDPKS harus mengalirkan dana subsidi Rp5,7 triliun untuk kebutuhan insentif Biodiesel selama periode kelima yakni November 2017-April 2018.

Image caption Porsi terbesar dari alokasi dana pungutan ekspor sawit adalah untuk subsidi biofuel, terdapat kejanggalan. Ditemukan bahwa pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit yang belum efektif karena tak ada verifikasi yang baik. Perluasan penggunaan dana tersebut, terutama untuk pemanfaatan bahan bakar nabati.

Perusahaan yang memperoleh dana subsidi untuk program biofuel periode Agustus 2015-April 2016 adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, Musim Mas Grup, PT Eterindo Wahanatama, PT Anugerahinti Gemanusa, PT Darmex Biofuels, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Primanusa Palma Energi, PT Ciliandra Perkasa, PT Cemerlang Energi Perkasa, dan PT Energi Baharu Lestari.

Dana pungutan terbesar diterima oleh PT Wilmar Nabati Indonesia yakni Rp1,02 triliun atau 31% dari total Rp3,2 triliun sementara biofuel yang diproses oleh perusahaan itu mencapai 330.139.061 liter.

BPDPKS memiliki target penyaluran dana Pungutan Ekspor (PE) sawit untuk replanting atau penamanam kembali pada 2016 mencapai Rp1 triliun. Adapun target 2016 dengan program peremajaan yang sedang proses mencapai 4.396 hektare dengan 2.140 petani dalam 12 koperasi pertanian, yang masing-masing, mendapatkan sokongan dana Rp25.000.000 per Ha.

Dari Sumatera telah diungkap bahwa beberapa LSM/NGO pernah melakukan konfirmasi dan investigasi kepada perusahaan kelapa sawit raksasa di Medan mempertanyakan dimana koperasi dan petani sawit yang menerima bantuan peremajaan sawit, belum terjawab. Bahkan perusahaan enggan membalas surat konfirmasi.

Artinya penyaluran dana peremajaan yang disebutkan tadi di Sumatera Utara diduga terjadi manipulasi dan rekayasa, tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Konon BPDP dalam penelitian seiring peningkatan produksi turunan sawit dan peremajaan tanaman dengan dana riset Rp146 miliar pada tahun 2016 lalu. Sementara itu, Mansuetus Darto, Ketua Umum Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS), pernah mengatakan kepada pers bahwa mengklaim BPDPKS memang menyediakan dana untuk petani.

Itu pun sulit untuk mengaksesnya, kata Manseatus. Ia mengatakan membuat proposal untuk peremajaan sawit, untuk replanting misalnya, dana itu tidak akan langsung ke petani, tapi diserahkan dulu ke perusahaan di sekitar perkebunan. Karena nanti sebagai pelaksana, pelaku peremajaan sawit itu adalah perusahaan.

Jadi tidak ada hak dalam konteks pengelolaan dan penguasaan terhadap kebun oleh petani. Tapi dikelola perusahaan, mulai dari penanaman sampai produksi. Demikian disebutkan Manseatus.

Faktanya adalah sejumlah Perusahaan Sawit Besar Terima Subsidi. Sejumlah perusahaan sawit berskala besar mendapat subsidi dari pemerintah sebesar triliunan rupiah sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015. Badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF).

Yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Subsidi ini timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel. Pada akhirnya konglomerat sawit menerima daa subsidi triliunan rupiah.

Pengakuan Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Agribisnis karena yang punya industri adalah perusahaan. Ini untuk menjaga harga minyak sawit tetap stabil, agar industri kelapa sawit tetap berkelanjutan. BPDPKS mengatakan target penyaluran dana pungutan ekspor sawit untuk replanting atau penamanam kembali pada 2016 mencapai Rp1 triliun.

Target tahun 2016 dengan program peremajaan yang sedang proses mencapai 4.396 hektare dengan 2.140 petani dalam 12 koperasi pertanian, yang masing-masing, mendapatkan sokongan dana Rp25.000.000 per Ha. BPDP juga andil dalam penelitian seiring peningkatan produksi turunan sawit dan peremajaan tanaman dengan dana riset Rp146 miliar pada tahun 2016 lalu. 2015-2017.

Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau BLU Sawit mencatat, dana insentif biodiesel yang telah terkumpul sejak Agustus 2015 sampai 31 Desember 2017 sebesar Rp21,47 triliun. Dana dari pungutan ekspor kelapa sawit itu, digunakan untuk mendanai berbagai program pengembangan industri dan Perkebunan sawit di Indonesia, termasuk pengembangan biodiesel.

Berdasarkan catatan BPDPKS, total volume biodiesel yang mendapatkan dana insentif selama periode tersebut mencapai 4,91 juta kilo liter (KL). Adapun kontribusi BPDPKS ke negara dari PPN pembayaran dana biodiesel pada periode tersebut sekitar Rp1,95 triliun.

“Jadi semua produsen biodiesel yang memenuhi syarat dalam hal ini dan syarat kualitasnya bagus dan kualifikasi sesuai dengan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2016, bisa saja menyalurkan biodiesel ini mendapatkan insentif,” ujar Edi di Kantor BPDPKS Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (6/3) yang dikutip dari berbagai sumber media.

Ada beberapa perusahaan besar yang mendapat insentif tersebut. Di antaranya Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Group, Permata Group, dan beberapa badan usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) lainnya.

Selama 2015, Wilmar Group mendapatkan insentif sebesar 51,13% dari dana insentif yang dianggarkan BPDPKS, Musim Mas Group mendapat 19,61%, Darmex Group 16,45%, Permata Group 6,17%, dan sepuluh badan usaha BBN lainnya mendapat 6,65%.

Selanjutnya di 2016, meski porsinya menurun, Wilmar Group tetap mendominasi insentif BPDPKS sebesar 41,38%, disusul Musim Mas Group 16,69%, Darmex Group 10,44%, Permata Group 6,20%, Sinar Mas Group 3,43%, dan 21,86% pada16 badan usaha BBN lainnya.

Wilmar Group juga masih mendapatkan porsi terbesar insentif dari BPDPKS sebesar 36,85%. Disusul dengan Musim Mas Group yang mendapat porsi sebesar 15,58%, Darmex Group 12,46%, Permata Group 6,18%, dan Sinar Mas Group 5,80% dan 19 badan usaha BBN lainnya sebesar 23,13%.

Sesuai surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, nomor 11/SE-HK.02.02/VIII/2020 tentang pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, tanggal 27 Agustus 2020.

Ruang lingkup yang diatur dalam surat edaran meliputi tujuan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Kriteria masyarakat sekitar, Kriteria kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Penetapan petani peserta fasilitasi kebun masyarakat. Bentuk fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dan Hak atas tanah bagi petani peserta.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha perkebunan dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar melalui kegiatan perkebunan.

Menciptakan struktur produksi perkebunan yang berkeadilan dengan melibatkan peran sertamasyarakat. Meningkatkan efektivitas dan produktivitas lahan perkebunan secara berkelanjutan. Meminimalisir konflik penguasaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar dan menghindari munculnya mafia tanah.

Pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditujukan untuk masyarakat sekitar, dengan criteria, masyarakat    petani yang      lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan. Masyarakat petani yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi kegiatan perkebunan dalam satu wilayah kabupaten.

Diutamakan yang berpenghasilan rendah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Penerapan ketentuan   kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, dikenakan untuk pemohon Hak Guna Usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas.

Yang mengajukan permohonan Hak Guna Usaha pertama kali dengan luas 250 Ha atau lebih, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20% dari luas tanah yang dimohon Hak Guna Usaha.

Pasal 105, Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.

Pasal 106, Menteri, gubernur dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin usaha perkebunan yang: menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan peruntukkan; dan/ atau menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000. Pasal 107, Setiap Orang secara tidak sah yang, mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/ atau menguasai lahan perkebunan, mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat.

Baca juga : Sekdakab Samosir Hadiri Gelar Pasukan

Masyarakat hukum adat dengan maksud untuk usaha perkebunan.  Melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan atau memanen dan/ atau memungut Hasil Perkebunan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000.

Pasal 108, Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.

Ketentuan kemitraan pada tanah HGU dengan kewajiban pembangunan kebun plasma minimal 20% telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan hingga surat edaran. Ketentuan ini dapat digunakan sebagai jalan masuk untuk memberikan akses petani kepada tanah.

HGU yang akan menjadi sampel penelitian adalah HGU yang diterbitkan setelah terbitnya Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 dengan titik berat kepada kondisi existing pasca terbitnya HGU setelah tahun 2007, baik ada maupun tidak adanya kemitraan inti plasma dalam melaksanakan ketentuan kewajiban membangun kebun plasma. (KRO/RD/DN)