RADARINDO.co.id-Medan: Tanah ex HGU PTPN II Tanjung Morawa sampai saat ini menuai persoalan antara menguasai dan mengusahai diatas lahan seluas 5.873,06 hektar. Bahkan tidak jarang terjadi konflik dilapangan antara penguasa fisik (tanah) dengan pemilik surat atau yuridis.
Kasus ini telah menjadi isu nasional. Tidak heran sejumlah pihak yang berkompeten terus mencari opsi agar lahan bekas perkebunan PTPN II yang dulu bernama PTP IX segera menemukan solusi terbaik.
Baca juga : KM Mutiara Timur I Terbakar Diperairan Bali, Penumpang Lompat ke Laut
Mengulas data rekapitulasi Tim Verifikasi dan Identifikasi Eks Hak Huna Usaha (HGU) sejak 18 Desember 2020 sampai 10 November 2021 menyebutkan, jumlah pemohon tanah eks HGU PTPN II yang telah terbit Surat Keputusan (SK) Nominatif Gubernur Sumatera Utara sebanyak 60 pemohon.
Namun, hampir satu tahun sejak SK diterbitkan, baru tiga pemohon yang baru melunasi pembayaran. Kepala Bagian Pemanfaatan dan Pengamanan Aset PT Perkebunan Nusantara II Ridho Syahputra Manurung mengatakan, ketiga pemohon tersebut adalah Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) seluas 218.000 meter persegi, Hafid Nazar seluas 41.400 meter persegi dan Surya Sembiring/Ratna Sari seluas 3.900 meter persegi.
Ridho mengatakan, jika dalam satu tahun setelah terbit SK Nominatif tidak dibayar pemohon maka SK Nominatifnya tidak berlaku lagi dan proses verifikasi akan diulang dari awal.
“Proses pembayaran memerlukan waktu lima bulan di Kementerian BUMN,” ujarnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara PTPN II, Biro Otda Pemerintah Provinsi Sumut, Tim Verifikasi dan Identifikasi Eks HGU dan Komisi A DPRD Sumut di ruangan Komisi A.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Sumut Hendro Susanto yang memimpin rapat mengaku terkejut mendengar laporan tersebut. Menurutnya, proses pembayaran yang sangat panjang tidak lazim, pihaknya akan mempertanyakan hal ini ke Kementerian BUMN pada Januari 2022 mendatang.
Dia beranggapan, jika begini kondisinya, wajar saja dari dulu sampai sekarang, persoalan lahan eks HGU PTPN II tidak pernah selesai. Berdasarkan data yang diterima pihaknya, ada 554,7 ha lahan eks HGU PTPN II yang telah terbit SK Nominatif-nya. Sementara yang diklarifikasi dan diverifikasi dokumennya ada 1.503,66 hektar dari total 5.873,06 hektar luas lahan eks HGU PTPN II.
Dijelaskan, sejak tim B-Plus dibentuk Pemprov Sumut pada Februari 2000 sampai muncul tim verifikasi dan identifikasi yang dibentuk gubernur, belum terlihat ada penyelesaian. Hasil pengamatannya di sejumlah lokasi, banyak lahan eks HGU PTPN II yang disewakan secara ilegal oleh oknum tidak bertanggungjawab karena berlarut-larutnya penyelesaian masalah.
Berkaitan dengan pembayaran Surat Peruntah Pembayaran atau SPP (dahulu SPS) menuai banyak kontroversi. Pembayaran tanah melanggar hukum. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof OK Saidin mempertanyakan ketentuan pembayaran tanah eks HGU PTPN II yang harus disetor pemohon kepada Kementerian BUMN.
Dia menjelaskan, PTPN II adalah pemegang HGU yang sudah berakhir dan tidak diperpanjang. Otomatis, tanah kembali dikuasai negara namun bukan milik negara. Negara hanya mengatur peruntukan, penggunaan, pendistribusian tanah sesuai Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang sampai saat ini belum dicabut atau diganti.
Menurut UU ini, HGU adalah hak yang terbatas, hak menggunakan tanah sampai masanya berakhir dan bukan hak memiliki. Saidin menyebut, HGU PTPN II untuk lahan seluas 5.873,06 hektare tidak diperpanjang lagi, sesuai Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 42, 43 dan 44 Tahun 2002 dan Nomor 10 Tahun 2004.
Artinya, tidak ada lagi hak apapun yang dimiliki PTPN II atas tanah tersebut. Lalu, apa dasar lembaga appraisal memberi nilai tanah yang harus diganti rugi kepada PTPN II?.
Kalau PTPN II meminta pembayaran cq BUMN, maka HGU bukan lagi dianggap hak terbatas. Tanah itu bukan lagi hak milik PTPN II, HGU-nya sudah berakhir. Kalau ada orang yang membayar, lalu PTPN II menggunakan uang itu, saya pikir itu pelanggaran hukum, tegas Saidin.
Dia tidak mengetahui kepentingan PTPN II dan BUMN menetapkan harga ganti rugi lahan eks HGU. Kalau dalam konsideran bahwa pembayaran ganti rugi untuk penghapusbukuan, Saidin mempertanyakan kantor Gubernur Sumut yang bisa dihapusbuku dengan harga Rp1.000, padahal lahan merupakan eks HGU PTPN II.
Sedangkan untuk lahan eks HGU seluas 5.873,06 hektar, appraisal memberi nilai puluhan ribu sampai jutaan rupiah per meter persegi. PTPN II sudah menjual tanah, berarti tanah itu bukan eks HGU lagi kalau dengan harga appraisal.
“Makanya saya katakan, lembaga appraisal yang terlibat dalam kasus ini memberikan penilaian yang keliru,” kata ketua program studi magister hukum USU ini.
Lahan eks HGU seluas 5.873,06 hektar yang dikeluarkan, sudah diverifikasi oleh tim B-Plus pada 2000 dan terdapat dasar mengapa tanah tersebut dikeluarkan. Beberapa pertimbangannya seperti tanah sudah digarap masyarakat, untuk kepentingan karyawan PTPN II dan penghargaan terhadap Suku Melayu. Tanah yang dikeluarkan adalah tanah-tanah yang bersih, bebas dari klaim dan garapan.
Tanah yang diberikan kepada masyarakat Melayu adalah penghargaan terhadap hak adat karena tanah diambil dari konsesi Kesultanan Melayu Langkat Deli dan Serdang yang dikonversi melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958.
Dia menambahkan, BUMN adalah suatu entitas badan hukum, bagaimana bisa memperkaya dirinya. Baginya, keuntungan negara yang merugikan orang lain, juga bentuk korupsi.
Mungkin pasalnya tidak pada Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tetapi negara mengorupsi uang rakyat dari pembayaran tanah yang haknya telah diberikan kepada orang-orang yang sudah disebutkan tim B Plus.
Jika masyarakat tidak membayar, maka tanah tidak bisa kembali menjadi HGU atau hak-hak lain karena PTPN II harus memohonkannya lagi. Apabila masyarakat tidak membayar lalu tanah diambil kembali oleh PTPN II, inilah yang secara hukum keliru karena negara bukan pemilik dan PTPN II juga sudah bukan pemilik.
Status tanah adalah dikuasai negara sehingga masyarakat untuk mendapatkan haknya tinggal mengikuti prosedur saja. Saidin menganggap kekeliruan ada pada kegagalan penyelesaian tanah eks HGU, karena PTPN II cq BUMN menetapkan harga penghapusbukuan yang tidak patut, yang tidak miliki dasar hukum.
“Yang terjadi sekarang, rakyat mencari cukong yang bisa membiayai tanah tersebut. Akhirnya tanah dikuasai mafia tanah,” ungkap Saidin, sesuai dikutip dari Kompas.com, 24 Desember 2021.
Hal lain dijelaskan pihak BPN menjelaskan kepada elemen masyarakat yang memiliki tanah garapan eks HGU PTPN II saat melakukan aksi. Pihak BPN menjelaskan para pemilik atau penggarap lahan agar mengajukan SK Nominatif.
Mekanisme pendaftaran nominatif harus dipatuhi. Sehingga pemerintah Provinsi Sumatera Utara, termasuk PTPN II dapat memproses pengajuan, kemudian verifikasi diatas dan penerbitan SPP. Sebelum dilakukan penghapusan buku dan penerbitan keabsahan surat tanah.
Hal lain tidak kalau anehnya, sampai saat ini program sertifikasi tanah belum sentuh lahan Eks HGU PTPN II. Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sempat mempertanyakan program sertifikasi tanah atau Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL), yang hingga saat ini belum menyentuh lahan eks HGU PTPN II.
Padahal, di antara lahan yang tersebar di Kabupaten Deliserdang dan beberapa daerah lainnya itu, sudah tidak lagi HGU PTPN II dan sudah lama dikuasai masyarakat secara fisik. Bahkan, sudah banyak yang menjadi kawasan pemukiman penduduk yang padat.
Pertanyaan itu disampaikan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar sesuai dikutip dari Medanbisnisdaily.com, Minggu (1/4/2018).
“Kita merasa heran saja, kenapa program sertipikasi tanah atau PTSL yang dibegitu sangat gencar dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agraria dan BPN itu, belum juga masuk ke lahan-lahan eks HGU PTPN II. Padahal petanya sangat mudah. Banyak bidang tanah yang tidak lagi bersengketa. Karena kawasan itu sudah menjadi pemukiman yang padat dan kompak. Tapi kenapa belum juga menjadi prioritas program pemerintah untuk diikutkan dalam program sertipikasi atau PTSL tersebut? Pak presiden perlu tahu masalah ini,” tegas Abyadi Siregar.
Baca juga : Cabuli Bocah, Pria Tua Ini di Ringkus Polsek Siak Hulu
“Sampai saat ini belum ada lahan eks HGU PTPN II yang sudah disertifikatkan dalam program sertifikasi tanah atau PTSL. Padahal program sertifikasi tanah atau PTSL ini sudah berlangsung beberapa tahun. Di Sumut sendiri sudah dimulai sejak 2016,” ungkapnya.
“Nah saya kira, ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Jangan biarkan masyarakat berada dalam penuh ketidakpastian. Masyarakat sudah mengeluarkan uang banyak untuk membangun rumah pemukiman utuk keluarganya. Karena itu, pemerintah harus segera bertindak melalui program reformasi agraria, khususnya program sertipikasi tanah atau PTSL,” katanya.
Terlepas beragamnya peta penguasaan fisik dan yuridis, sebagai warga negara. Maka ketentuan yang berlagu nominatif harus dipatuhi bagi pemilik lahan yang menguasai dan mengusahai. (KRO/RD/KPS/MBD)