RADARINDO.co.id – Jenewa : Krisis kemiskinan hingga kelaparan bakal melanda masyarakat dunia. Kabar ini spontan menuai tanggapan beragam.
Ratusan juta orang berisiko mengalami kelaparan parah dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini seiring dengan meningkatnya kemiskinan ekstrem, ketidaksetaraan, dan kerawanan pangan.
Hal ini yang diperingatkan Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) Selasa (12/7).
Baca Juga👉🏻Rakernas Tidar di Medan, Prabowo Calon Presiden 2024
ICRC mengutip Program Pangan Dunia (WFP) yang memperkirakan, tambahan 47 juta orang akan mengalami kerawanan pangan pada 2022. Sehingga jumlahnya menjadi 811 juta orang secara global.
Situasinya mendesak, dan rentang waktu yang tersisa untuk bertindak semakin menyempit. Tanpa upaya bersama dan kolaboratif.
“Ini berisiko menjadi krisis kemanusiaan yang tidak dapat diubah, dengan korban manusia yang tak terbayangkan banyaknya,” kata Direktur Jenderal ICRC Robert Mardini seperti dikutip dari Antara, Kamis (14/7).
Konflik di Ukraina turut mendorong lonjakan tajam harga bahan bakar, pupuk, dan makanan. Menurut ICRC dalam sebuah konferensi pers.
Setelah melewati perang saudara selama bertahun-tahun, lebih dari 16 juta warga atau 50% lebih populasi di Yaman mengalami kerawanan pangan akut.
ICRC mengutip laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memperkirakan 346 juta orang di Afrika menghadapi kerawanan pangan parah.
Artinya, seperempat dari populasi benua itu tidak memiliki cukup makanan. Sementara di Afghanistan, harga tepung terigu dan minyak goreng masing-masing tercatat 47% dan 37% lebih tinggi dari harga tahun lalu.
Sebelum eskalasi konflik bersenjata di Ukraina, 90% penduduk Suriah hidup dalam kemiskinan, dua pertiganya bergantung pada bantuan kemanusiaan, dan 55% mengalami rawan pangan.
Di kawasan Sahel juga mengalami salah satu kekeringan terparah dalam beberapa dekade. Hasil pangan di Niger dan Mauritania tercatat 40% lebih.
Garis Kemiskinan
Sebelumnya, Program Pembangunan PBB (UNDP) juga mengungkapkan, krisis biaya hidup membuat 71 juta orang di negara-negara miskin terjerumus ke dalam kemiskinan ekstrem.
Administrator UNDP Achim Steiner mengatakan, analisis terhadap 159 negara berkembang menunjukkan, kenaikan harga sejumlah komoditas penting tahun ini telah menjalar ke sebagian wilayah Afrika Sub-Sahara, Balkan, Asia dan lainnya.
Badan PBB itu berusaha mencari bantuan tunai untuk diberikan secara langsung kepada penduduk paling rentan.
UNDP juga ingin agar negara-negara yang lebih kaya dapat memperpanjang dan memperluas Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI) yang mereka buat untuk membantu negara-negara miskin selama pandemi.
Institusi semacam PBB, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional sejatinya menetapkan sejumlah “garis kemiskinan”.
Penduduk digolongkan sebagai orang miskin jika mereka hidup sehari-hari dengan uang kurang dari US$1,90 (sekitar Rp28.500) di negara berpendapatan rendah.
Kemudian U$$3,20 di negara berpendapatan sedang paruh bawah, dan US$5,50 di negara berpendapatan sedang paruh atas.
“Kami memperkirakan krisis biaya hidup saat ini akan mendorong lebih dari 51 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem dengan US$1,90 per hari, dan 20 juta orang lainnya dengan US$3,2 dolar per hari,” tulis laporan itu.
Laporan itu juga memperkirakan, krisis akan membuat sekitar 1,7 miliar penduduk dunia menjadi miskin.
Disebutkan pula, pemberian bantuan tunai di sejumlah negara akan lebih “adil dan rendah biaya”, daripada subsidi harga bahan bakar dan pangan yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
Dalam jangka panjang mereka (subsidi) mendorong ketidakadilan, kian memperparah krisis iklim, dan tidak segera dirasakan dampaknya,” ujar Kepala Penanganan Kebijakan Strategis UNDP George Gray Molina.
Mereka bisa melakukannya, jika DSSI yang dirintis oleh G20 diperpanjang hingga dua tahun lagi dan diperluas jangkauannya, agar bisa dinikmati setidaknya oleh 85 negara dari 73 negara saat ini, kata Molina.
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Dewi Puspita mengatakan, data penduduk yang lebih lengkap perlu lebih diupayakan.
Hal ini diperlukan agar angka kemiskinan turun secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Pemerintah sendiri mencatat sebanyak 7,54% penduduk miskin belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan 22,72% penduduk miskin berusia 0 hingga 17 tahun belum memiliki akta kelahiran.
“Sehingga itu menjadi hal penting yang perlu di perbaiki,” ujar Analis Kebijakan Ahli Madya pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu.
Saat ini, meski di semua wilayah Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan, Dewi mengingatkan, tingkat kemiskinan di Indonesia secara presentase masih tinggi.
Sementara itu, Perencana Muda Kementerian PPN/ Bappenas Fisca Miswari Aulia mengatakan, terdapat korelasi antara kepemilikan dokumen kependudukan dengan kemiskinan.
Baca Juga👉🏻Warga Deli Serdang Heran Ada Proyek Negara Tanpa Plank
Menurut dia, mayoritas penduduk miskin berada di wilayah yang sebagian masyarakatnya belum memiliki NIK.
Kondisi ini yang membuat penduduk miskin tidak terdaftar di database, sehingga tidak mendapatkan berbagai bantuan yang dibutuhkan.
BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2021 adalah 26,50 juta orang atau mencapai 9,71%. Realisasi ini turun 1,04 juta orang terhadap Maret 2021 dan turun 1,05 juta orang terhadap September 2020.
Diharapkan para pemimpin dunia dapat mengantisipasi krisis pangan yang disebutkan berdampak buruk terancam kelaparan penduduk dunia. (KRO/ValidNews.id/AND)