RADARINDO.co.id-Medan: Kasus dugaan penyalahgunaan dana reboisasi Mangrove di Kabupaten Langkat dan Medan sudah lama menjadi sorotan publik. Konon sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 di provinsi Sumatera Utara baik di Kabupaten Langkat maupun di tempat lainnya, dan sudah banyak masyarakat melaporkan namun Aparat Penegak Hukum (APH) tak berdaya mengusut indikasi tersebut.
Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan terkesan “mandul” terindikasi main mata dengan pihak terkait. Terbukti sejumlah kasus yang sama dadi anggaran tahun berbeda nyaris jadi ajang bagi-bagi dan tidak tersentuh hukum, aneh bukan?
Baca juga : Kelompok Tani Hutan Bakal Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Penanaman Mangrove di Langkat
“Memasuki TA 2020/2021 proyek ini semakin menjadi-jadi permainan kotornya, mungkin beranggapan yang kemarin aman-aman saja, mengapa yang ini tidak diulangi lagi,” ujar Ketua Masyarakat Cinta Keadilan (MCK) A. Fsuzi, kepada KORN RADAR GROUP, Rabu (26/04/2023).
“Justru itu kami (MCK) tertarik untuk menelusuri serta mengikutinya walaupun untuk itu sudah hampir berjalan 16 bulan lamanya serta melaporkannya baik ke tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota demi Fiat Yustitia Ruad Caelum”, ujarnya lagi.
Berdasarkan SK MENTERI LHKRI No : 353/MENLHK/SETJEN/DAS.I/8/2020 tentang rencana operasional padat karya penanaman Mangrove tahun 2020 pada tanggal 31 Agustus 2020. Dimana Indonesia memiliki sebaran mangrove seluas 3.311.207 hektar yang berada didalam dan diluar kawasan Hutan, yang diantaranya seluas 637,624 Ha termasuk dalam kondisi kritis dan perlu segera dipulihkan kondisi ekosistemnya.
Bahwa sasaran lokasi adalah ekosistem Mangrove yang berada di hutan konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang total luasan sebesar 15.000Ha untuk di tingkat provinsi diantaranya provinsi Sumatera Utara
Dimana pembiayaan padat karya penanaman Mangrove tahun 2020 berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan pada DIPA Ditjen PDASHL Kementrian LHK sebesar Rp406.177.500.000.Dengan rincian antara lain:
1. Penyusunan rancangan teknis sederhana sebesar Rp9.225.000.000
2. Penanaman sebesar Rp391.500.000.000 = Rp26.100.000/Ha
3. Monitoring dan evaluasi sebesar Rp5.452.500.000
Dimana tujuan pokok/utama dari pemerintah dalam program tersebut begitu sangat mulia dari mulai demi sampai kedemian semua sudah termaktup disitu dan keberhasilan atas program tersebut dipercayakan mulai dari Badan Restorasi Gambut & Mangrove (BRGM) RI sampai ke Provinsi serta Kabupaten/Kota.
“Semua sudah terlibat dan ditingkat provinsi pihak BPDASHL, BBKSDA, Dinas Kehutanan Provinsi dan KPA di tingkat Kabupaten/Kota.
Dimana didalam pelaksanaan Program tersebut pihak BPDASHL dan atau BPSKL, pemangku kawasan bersama pendamping lapangan melakukan sosialisasi kepada kelompok Hutan Sosial,” ungkapnya.
Selanjutnya, ujarnya lagi, BPDASHL menyusun rancangan teknis sederhana penanaman Mangrove, didalam menyusun rancangan teknis sederhana BPDASHL melibatkan pemangku kawasan yang dapat di dahului dengan PRAKONDISI (sosialisasi teknis pelaksanaan, pengumpulan semua data-data dan observasi lapangan serta menyerap aspirasi masyarakat).
Selanjutnya monitoring pelaksanaan penanaman dilakukan oleh BPDASHL, BPSKL, pemangku kawasan dan pelaporan progres penanaman dilakukan secara berkala oleh kelompok masyarakat hutan sosial dan pendamping lapangan kepada BPDASHL dan di tembuskan kepada BPSKL dan atau pemangku kawasan.
Dapat dijelaskan penyusunan rancangan teknis sederhana disusun oleh tim yang ditetapkan oleh Kepala BPDASHL, dan tim terdiri dari unsur BPDASHL dan dapat melibatkan pelaksana penanaman, BPSKL dan seterusnya.
Rancangan teknis sederhana disahkan oleh Kepala BPDASHL paling sedikit memuat antara lain : nama kelompok pelaksana, letak dan luas lokasi, jumlah dan jenis bibit, pola penanaman, rencana anggaran biaya, tata waktu pelaksanaan, peta lokasi (untuk mengetahui luas areal yang mau ditanam serta menghindari terjadinya tumpang tindih penanaman) antara satu kelompok penanam dengan kelompok lainnya.
Dalam rangkaian kegiatan penanaman meliputi persiapan lapangan, penyediaan bibit dan pelaksanaan penanaman dimana kegiatan persiapan lapangan terdiri dari : pengukuran ulang batas-batas areal lokasi penanaman serta pemancangan patok batas luar areal penanaman dan selanjutnya itulah inti dari program reboisasi mangrove yang diluncurkan kementerian LHKRI ditambah lagi lokasi yang mau ditanam harus masuk dalam sebaran ANALISIS PEMETAAN MANGROVE NASIONAL (PMN) RI.
“Dan berstatus lahan mangrovenya JARANG, benar-benar sangat teliti, akurat, selektif, dan banyak sekali persyaratan yang kalau betul-betul diikuti dipastikan banyak yang tidak mampu dan sanggup,”tegasnya.
Karena kalau untuk pemetaan saja, itu harus benar-benar orang yang ahli dan mampu karena dari pemetaan itu terlihat berapa luas lahan yang akan ditanami belum lagi semua kelompok penanam harus diketahui dan disahkan oleh para kepala desa/kelurahan masing-masing kelompok peserta dimana lokasi yang akan ditanami harus diketahui pejabat tersebut.
Bisa-bisa menyerah sebelum berbuat dikarenakan semua hal tersebut menyangkut biaya yang tidak sedikit. Maka terjadilah kasus tumpang tindih penanaman mangrove di Kelurahan Nelayan Indah Kota Medan antara POKDAKHAN MAJU BERSAMA (50Ha) dengan kelompok KHAZANAH MANGROVE (48Ha).
Belum sampai disitu malah penanaman reboisasi mangrovenya ada yang ditanam ditambak intensive (udang dan ikan) milik orang lain dan malah ada yang menyewa di tambak-tambak tersebut hanya untuk 3 bulan saja sementara tambak tersebut belum digunakan oleh pemiliknya, yang lebih parah lagi lahan Pemerintah Kota Medan (PEMKO Medan) di Kelurahan Nelayan Indah juga turut ditanami, yang penting selesai ditanam maka terima pembayaran dari Pihak BPDASHL Wampu Sei Ular.
“Yang menjadi satu pertanyaan besar bagi kami pengamat lingkungan hidup dan hutan, namanya saja mereboisasi hutan yang kritis, mana hutannya yang ada di Kelurahan Nelayan Indah karena yang ditanami semua dipinggir jalan beraspal dan semua tambak intensive pasti pemiliknya tidak mau ada satu batang pohon mangrove yang hidup dikolamnya,” sambungan.
Kalaupun terjadi apakah masyarakat yang tinggal di perumahan nelayan di ujung sana bisa terima, apakah tidak semakin seram kalau pulang malam kerumah karena melewati hutan bakau yang terkenal oleh ular bakau nya bila tumbuh subur dan lebat (namanya juga mereboisasi hutan mangrove yang sudah sangat tipis) benar-benar pengesahan diluar akal sehat dan tak bertanggung jawab, ibarat membagi-bagi uang menang undian saja layaknya dengan geram.
INGAT PROGRAM INI UNTUK MEREBOISASI HUTAN MANGROVE YANG SUDAH KRITIS* belum lagi kelompok-kelompok lain yang juga sudah mendapatkan kontrak penanaman mangrove di sekitar kelurahan belawan yang jelas kami menduga tidak ditanami.
Yang sangat menyedihkan dan memalukan lokasi-lokasi yang ditanami mangrove sama sekali tidak masuk sebaran analisis Pemetaan Mangrove Nasional (PMN) RI diperparah dengan biaya tanam yang seharusnya Rp26.100.000/Ha sesuai dengan SK 353 tersebut diberikan kepada POKDAKHAN MAJU BERSAMA hanya sebesar Rp10/11 juta rupiah saja dalam 1 hektarnya.
“Begitu seterusnya yang kami ketahui seperti penanaman reboisasi hutan mangrove oleh KTH BERSATU di Kelurahan Alur Dua Kec. Sei Lepan Kab. Langkat dengan luas 92,87Ha yang ini lebih parah lagi di samping lokasi tanam tidak masuk dalam sebaran analisis Pemetaan Mangrove Nasional (PMN) RI, kayu-kayu penyanggah Mangrove berserakan dilokasi tanaman, mangrove yang akan di tanam dibenamkan kedalam air paluh sehingga membusuk dan mati, total tidak ada ditanam tapi masuk dalam persentase paparan disalah satu hotel Medan oleh pihak BRGM, BPDASHL, dan Dinas Kehutanan Sumut dinyatakan Desa/Kelurahan peduli Mangrove, didengar kabar burung antara Ketua dan Bendahara KTH BERSATU tersebut berselisih paham,” tuturnya.
Mudah-mudahan saja tidak terjadi saling bunuh membunuh, akan tetapi lapor melapor sudah terjadi. Benar-benar luar biasa dan banyak korban di proyek reboisasi Hutan Mangrove ini, diberi ribut dibagi-bagi, sementara di bagi ribut kali-kali.
“HAHAHAHAHA” kata penggiat Pak Uban ini bisa disapa demikain, lain lagi penanaman yang terjadi di Alur Cempedak sambungnya, bayangkan abang saja ya luas desa itu seluruhnya 410 Ha, sudah termasuk kandang lembu dan seterusnya gereja, masjid, tambak udang dan ikan masyarakat serta kebun sakit masyarakat, lading, dan rumah tempat tinggal mereka, lokasi desa Alur”, ujar ketua MCK.
Mempelajari ini SAMA SEKALI TIDAK MASUK DALAM SEBARAN ANALISIS PEMETAAN MANGROVE NASIONAL (PMN) RI, kok bisa-bisanya BPDASHL Wampu Sei Ular, Dinas Kehutanan
Tingkat I, KPH Kabupaten Langkat menyetujui serta memberi kontrak penanaman kepada KETIGA KTH ITU dimana totalnya seluas 671Ha.
enar-benar program terdahsyat saya kira ini, ntah dimana simonev (monitoring & evaluasi) dari institusi terkait atas terlaksan dan keberhasilan dari SK 353 Kementeriaan LHK RI tersebut.
Tapi tidak ada pemetaan syarat utama dari ketentuan yang harus dijalankan sesuai SK tersebut yang harus dilaksanakan oleh para kelompok penanam kepada Pihak-Pihak tersebut diatas seperti peninjauan kembali kelapangan, serta mematok batas lahan yang akan ditanam.
“Benar-benar disini ada unsur kesengajaan dalam kata petik Ujar Pak Uban, ini yang membuat saya kesal apalagi setelah dilihat lokasi yang ditanam saya kira luasnya hanya 5 Ha saja dari yang seharusnya selesuai 671Ha,” ujarnya.
Buktinya mereka aman-aman saja dan yang ini saya rasa lebih nekat dan lebih gila lagi pulau yang diajukan oleh Kelompok Koperasi Wahana Hijau itu namanya Pulau Kera dan luasnya hanya 95Ha (kami mempunyai titik koordinatnya) saja tepatnya berada di Desa Pangkalan Siata Kec. Pangkalan Susu Kab. Langkat.
“Tapi yang diajukan oleh Kelompok tersebut ke Institusi terkait tidak tanggung-tanggung berpedoman azas manfaat mereka mereka bisa kok, kenapa saya tidak pikir M.Nasir (Ketua Kelompok/Mantan Kepala Desa Pangkalan Siata) mandi kalau perlu kedinginan terus yang diajukan seluas 350 Ha,” ceweknya.
Sayangnya, kenapa tidak genapkan saja 400Ha ya? Sambil tertawa ngakak. Semua yang mendengar celotehan Pak Uban tersebut, nah Si Koperasi ini lebih pintar sedikit dari KTH Bersatu yang membuang ajir penyangga mangrove dan mematikan pohon mangrove ke dalam air, koperasi menebas pohon mangrove yang telah tumbuh subur dan lebat serta rapat seolah-olah mati terkena abrasi dan harus segera di reboisasi.
Lokasi tersebut ditanah mereka tapi hanya satu atau dua hektar sajalah pulak, oleh karena siapa yang mau memantau ke Pulau Kera tersebut disamping jauh Hutan Mangrove nya sangat lebat dan rapat dan lumayan juga dengan ular bakaunya, kalau mau mati SAHID silahkan seperti orang-orang tua kami dulu dalam berjuang demi kemerdekaan negeri ini, kalau mau mati mempertahankan monitoring dan evaluasi.
“Seperti yang selalu diberitakan di media online untuk pengajuan mereboisasi Hutan oleh kelompok penanam Mangrove harus diketahui oleh Lurah/kades Setempat kata salah seorang staff BPDASHL Wampu Sei Ular”, cetusnya.
Sedangkan Horas Sianturi jadi bukan hanya diajukan begitu saja, ternyata hal tersebut setelah kami tanyakan kepada KADES Alur Cempedak (RIDHO GINTING) beliau mengatakan tidak mengetahui adanya proyek Reboisasi Hutan Mangrove di Desanya, lagi-lagi pembohongan publik telah terjadi oleh pihak BPDASHL Wampu Sei Ular.
Mengapa Kades Alur Cempedak bisa berkata sampai demikian, karena untuk luas yang diberikan kepada Ketiga KTH untuk mereboisasi Hutan Mangrove di Desanya dengan luas 671Ha itu yang tertanam hanya 5 Ha saja, itu pun di kolam ikan yang masih aktif.
Pikiran Kades mungkin iseng-iseng untuk menanam yang pasti ini bukan proyek Reboisasi Hutan Mangrove yang berskala nasional dari kementrian LHK RI cetus penggiat lingkungan hidup dan hutan. Apalagi dengan akal-akal tanda tangan Kades Alur Cempedak serta keterlibatannya dalam penanaman di wilayahnya sehingga Kades tersebut sudah diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Langkat di STABATkali lagi benar-benar banyak korban akibat ulah dari para kelompok penanaman reboisasi hutan mangrove di Kabupaten Langkat ini cetusnya lagi.
Perjalanan laporan kami (MCK) untuk menyuarakan perambahan alih fungsi kawasan hutan dan penyelewengan dana APBN direboisasi Hutan Mangrove ini lumayan lama dan panjang, dimulai sejak tanggal 17 Januari 2022 dari Kabupaten/Kota ke Provinsi hingga ke Pemerintah Pusat.
Dimana pihak Polres Langkat sendiri telah turun kelapangan bersama kami MCK sembari memperlihatkan surat perintah tugas peninjauan kelapangan serta pemanggilan-pemanggilan para pelaku penanam Reboisasi Hutan Mangrove seperti AYEN, HENDRA, SOLIHIN termasuk BPDASHL Wampu Sei Ular, Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I Sumut serta KPH Kab. Langkat sejak tanggal 8 Februari 2022 hingga terakhir pada tanggal 25 Juli 2022 untuk datang memberikan keterangan dan bertemu dengan penyidik IPTU Master SM, Purba atau BRIPKA Anwar Hidayat, sampai berganti dengan penyidik IPDA JANITRA GIRI SATYA S.Tr.K.
Terakhir adanya Surat Pemberitahuan perkembangan penyelidikan tertanggal 24 Oktober 2022 dimana dijelaskan rencana kegiatan selanjutnya penyidik akan meminta keterangan saudara HORAS TIMPORT SIAHAAN dari pihak BPDASHL Wampu Sei Ular, Ketua Kelompok Irfan Solihin serta pihak BPHK Wilayah I Medan untuk melakukan Plooting Koordinat ( untuk hal ini kami menjadi bingung ).
Tapi semua yang dilaporkan di Polres Langkat dari tanggal 17 Januari 2022 hingga saat ini tidak ada kemajuan yang berarti. Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas kami (MCK) mulai mengambil langkah untuk melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan itu dimulai tanggal 9 September 2022, menyusul kembali dengan surat pada tanggal 30 November 2022 dan terakhir pada tanggal 9 Januari 2023, ujarnya.
Baca juga : Walikota Psp & Forkopimda Lakukan Sholat Idul Fitri 1444H Bersama
“Akan tetapi sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya bahwasanya kasus tersebut masih ditangani di bagian INTELEJEN KAJATISU, pada tanggal 16 Maret 2023 anggota TIM MCK coba untuk mendatangi kantor KAJATISU guna mendapatkan konfirmasi, karena selama ini baik melalui kontak maupun wa ke Bapak ALOF SIANTURI (Bagian PidSus Kajatisu) selalu mengatakan kasus yang dilaporkan masih diproses di bagian Intelejen, dan terakhir coba Bapak langsung saja ke Bagian Intelejen KAJATISU tanpa memberitahu siapa yang akan dihubungi disana maupun memberikan nomor kontak yang bisa dihubungi,” cetusnya.
Makanya tim langsung ke Kantor tersebut setelah melapor dan menunggu +40, menit didatangi ibu PRISKA sembari mengatakan Bapak tidak bisa berjumpa/bertemu ke Bagian Intelejen KAJATISU dikarenakan lagi sibuk membahas kasus.
Hingga kini pihak pelapor (MCK) Sumatera Utara tidak ada diberitahu oleh Bagian Intelejen tentang perkembangan/kemajuan kasus yang dilaporkan tutur dari penggiat lingkungan hidup dan kehutanan yang biasa disebut Pak Uban tersebut.
Untuk mereboisasi mangrove seluas 671Ha kepada ketiga KTH tersebut, dimana lagi ditanam mangrove itu. (KRO/RD/TIM)