UU BUMN Terbaru, KPK “Tak Berwenang” Usut Korupsi di Perusahaan Milik Negara

340

RADARINDO.co.id – Jakarta : DPR RI merevisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk disetujui dan disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna baru-baru ini.

Dalam UU BUMN terbaru ini, terdapat 10 materi pokok yang diklaim meningkatkan dan memperbaiki tata kelola perusahaan milik negara. Sejumlah substansi pokok, yakni mekanisme privatisasi BUMN yang manfaatnya lebih optimal bagi negara.

Baca juga: Dadang: Tak Ada Tindakan Premanisme Penggembokan Pasar Tambak Indah Serang

Membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dalam meningkatkan tata kelola BUMN lebih optimal menjalankan tugas pokok dan fungsinya mendukung ekonomi nasional.

Selain itu, mengatur business judgement rule (BJR) yang memberi manfaat bagi aksi korporasi dalam meningkatkan kinerja BUMN. BJR tersebut dinilai melindungi direksi dari tanggungjawab hukum atas keputusan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito mengatakan, sebelumnya terdapat sejumlah pasal krusial dalam draf UU BUMN ini. Namun, pasca disetujui DPR, naskah UU tersebut belum bisa diakses publik, sehingga menjadi pertanyaan.

Lakso mengungkapkan, dalam UU BUMN yang baru ada pasal yang menyatakan Direksi dan Komisaris BUMN bukan penyelenggara negara. Kemudian, terdapat pasal yang menyatakan keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian perusahaan itu sendiri. Artinya, jika BUMN mengalami kerugian tidak dianggap sebagai kerugian negara.

Dia mempertanyakan pemaknaan dari beberapa pasal tersebut. Pertama, soal Komisaris dan Direksi BUMN yang disebut bukan penyelenggara negara. Pasal ini akan menimbulkan kebingungan. “Lalu siapa yang berhak menangani kasus tindak pidana korupsi jika terjadi di BUMN,” kata Lakso, mengutip suara.com, Rabu (12/2/2025).

Sementara, mengacu pada Pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang KPK, lembaga antirasuah ini berwenang mengusut kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Namun, jika Direksi dan Komisaris BUMN disebut bukan penyelenggara negara, maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan mengusut kasus korupsi di perusahaan milik negara.

Sedangkan pasal yang menyebut kerugian BUMN bukan kerugian negara, konsekuensi hukumnya yaitu penyelewengan di BUMN tidak lagi termasuk kategori tindak pidana korupsi. Sehingga, KPK tidak bisa mengusut menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kendati demikian, perubahan prasa Komisaris dan Direksi bukan penyelenggara negara berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebab dalam UU ini Komisaris dan Direksi BUMN masih dinyatakan penyelenggara negara.

Ketika terjadi lex specialis sistematis atau ketika aturan yang satu dan lainnya berbenturan, maka ketentuan yang lebih spesifik yang digunakan. Dalam hal ini adalah Undang-undang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN.

Baca juga: Dugaan Korupsi Pengelolaan Sampah DLHK Tangsel Mencuat, Kerugian Ditaksir Rp25 Miliar

KPK pun memiliki kewenangan untuk tetap mengusut dugaan korupsi yang terjadi di BUMN. Terlebih Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara masih mengatur tentang pengelolaan BUMN.

“Nah dengan adanya dua track ini, jadi baik soal penyelenggaraan negara maupun soal kerugian keuangan negara, nantinya akan ada kebingungan dalam proses kepastian hukum di Indonesia,” ujar Lakso. (KRO/RD/SU)