RADARINDO.co.id – Medan : Penyidik Bareskrim Mabes Polri diminta agar melakukan penyelidikan dan penyidikan secara professional. Serta tidak melakukan tebang pilih kasus. Sehingga dapat memberi edukasi bagi anak perusahaan Holding Perkebunan PTPN III yakni Palmco maupun Supportingco. Dimana, sejumlah oknum pejabat teras BUMN diduga terlibat proyek peningkatan kapasitas penggunaan Cogeration listrik dari amplas tebu.
“Kami meminta penyidik untuk segera melimbahkan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor agar Publik tahu, siapa saja yang terlibat gerogoti uang perusahaan BUMN ini. Dari progress kegiatan saja sudah banyak ditemukan kejanggalan, diduga ada konspirasi besar untuk menguras uang Negara,” ujar sumber belum lama ini disampaikan secara tertulis.
Tujuan pembiayaan dijelaskan untuk mengurangi konsumsi energi, dan optimalisasi peningkatan kapasitas produk. Peningkatan kapasitas menggunakan Cogeneration listrik dari ampas tebu dan surplus tenaga listrik bisa di ekspor ke jaringan publik (dijual ke PLN dengan target 10 MW). Pembangunan PLTBm Djatiroto dilaksanakan oleh KSO HK-E-U (HEU). Perusahaan U merupakan perusahaan yang berdomisili di India yang memiliki pengalaman dalam membangun PLTBm.
Baca juga: Oknum Pejabat PTPN XI Terlibat Proyek Listrik dari Ampas Tebu (1)
Diduga terdapat kelebihan pengalokasian pembiayaan kepada PTPN XI untuk pembangunan PLTBm Djatiroto sebesar Rp72.066.663.607,73. Berdasarkan Aplikasi Arium diketahui bahwa PT SMI (Persero) telah mencairkan pembiayaan PTPN XI PG Djatiroto sebesar Rp212.605.451.787 sebanyak dua kali, yaitu Tahap I tanggal 20 Juli 2018 sebesar Rp102.150.541.038 dan Tahap II tanggal 31 Desember 2018 sebesar Rp110.454.910.749, sisa plafon pembiayaan sebesar Rp51.185.548.213 (Rp263.791.000.000 – Rp212.605.451.787).
Atas pencairan pembiayaan Tahap II diduga tidak sesuai dengan pedoman pembiayaan antara lain khusus project financing untuk penarikan pembiayaan kedua dan seterusnya. Bahkan anehnya, kabar yang beredar, divisi fungsi bisnis pembiayaan tidak memastikan kecukupan nilai biaya proyek (project cost) yang sudah terealisasi berdasarkan nilai progress proyeknya lebih besar terhadap outstanding pembiayaan.
Salah satu syarat pencairan pembiayaan Tahap II adalah menyerahkan copy invoice dari kontraktor EPCC, diduga tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian. Dokumen copy invoice tercantum pada laporan PDC (Konsultan Pengawas) No. 156/LF/PWS.PDC/ECV/XII/2018 tanggal 26 Desember 2018, bahwa akumulasi progres nilai tagihan Proyek PLTBm termasuk pajak sampai dengan 31 Oktober 2018 sebesar Rp207.406.712.189 atau 53,27%.
Dokumen tersebut dapat menjadi bukti tambahan mengusut kasus tersebut. Akumulasi progres pembangunan sampai dengan 31 Oktober 2018 sesuai laporan konsultan pengawas sebesar 23,84%. Tagihan proyek PLTBm Djatiroto sebesar Rp207.406.712.189 seluruhnya menggunakan pembiayaan dari PT SMI (Persero) sebesar Rp212.605.451.787 sampai dengan pencairan tahap II.
Hal ini diduga tidak sesuai dengan akad perjanjian bahwa nilai penarikan yang dapat dilakukan sesuai porsi pembiayaan yaitu 67,76% dari biaya proyek yaitu sebesar Rp140.538.788.179,27 (67,76% x Rp207.406.712.189) sehingga terdapat kelebihan pembiayaan sebesar Rp72.066.663.607,73 (Rp212.605.451.787 – Rp140.538.788.179,27).
Anehnya, pihak PTPN XI diduga tidak melakukan penilaian agunan sesuai pedoman pembiayaan PTPN XI dalam Perjanjian Pembiayaan Nomor 6 tanggal 05 April 2018 dan Perjanjian Pembiayaan Nomor 62 Tanggal 26 Maret 2018 menjaminkan tanah, bangunan, peralatan, dan fidusia.
Sesuai pedoman pembiayaan, penilaian agunan dan perpanjangan akta fidusia dilakukan minimal 1 tahun sekali. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa penilaian agunan peralatan dan perpanjangan akta fidusia tidak rutin dilakukan setiap tahun. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Akta perjanjian Pembiayaan PTPN XI dan PT SMI (Persero) nomor 62 tanggal 26 Maret 2018 dan Nomor 6 tanggal 05 April 2018.
Pada BAB VIII agunan pembiayaan dan pengikatannya, penilaian kembali agunan (retaksasi) agunan. Setiap agunan pembiayaan wajib dilakukan penilaian kembali agunan (retaksasi agunan), yang bertujuan untuk melakukan pengkinian terhadap keadaan dan nilai agunan terkini.dengan ketentuan, untuk agunan benda tetap (fixed assets), minimal dilakukan sekali dalam 2 (dua) tahun.
Baca juga: Terkesan Dilindungi, Pekerjaan Jalan Nasional di Sumut Berantakan Tanpa Pengusutan
Untuk agunan piutang, minimal dilakukan sekali dalam setahun. Untuk agunan saham yang tidak terdaftar (non-listed) di bursa efek, minimal dilakukan sekali dalam setahun. Pembiayaan proyek PLTBm Djatiroto sebesar Rp212.605.451.787 PT SMI (Persero) berisiko tidak dapat dikembalikan sesuai rencana. PT SMI (Persero) serta kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan dana sebesar Rp72.066.063.607,73.
PT SMI (Persero) tidak mendapatkan second way out yang sebenarnya. Hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk memeriksa dan meminta pertanggungjawaban. Sebab pembiayaan yang tidak dapat menyelesaikan proyek secara tepat waktu.
“Kami meminta penyidik segera memeriksa Direktur Utama PT SMI (Persero), Kepala DFBP dan Direksi PTPN XI. Mereka diduga mengetahui aliran dana dan diduga ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pinta sumber. (KRO/RD/TIM)