RADARINDO.co.id – Medan : Mengulas pariwisata Danau Toba dari sisi manapun seolah takkan ada habisnya. Apakah tentang budaya, keindahan alamnya dan pelaku usaha pariwisata itu sendiri. Yang menjadi pesohor dan masyhur industri pariwisatanya adalah Parapat.
Awalnya, bernama Kecamatan Parapat tetapi berubah nama sejak tahun 1960 menjadi Kecamatan Girsang Sipangan Bolon – Kabupaten Simalungun, yang terdiri dari 3 kelurahan dan 3 Nagori.
Kini, Parapat menjelma menjadi satu tempat pilihan wisata, pihak sekolah mulai tingkatan SD, SLTP dan SLTA di wilayah Provinsi Sumatera Utara sebagian besar menjadwalkan kunjungannya saat libur sekolah ke Parapat, terlebih di kota Parapat ada sebuah bangunan bersejarah yang menjadi tempat pengasingan bagi bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno yang ditawan pihak Belanda pada tahun 1949.
Baca juga: CIC Kepri Ungkap Praktik Bongkar Muat Ilegal di Pelabuhan Tikus
Kota Parapat tumbuh dan menjelma menjadi sebuah industri yang memberikan manfaat bagi penduduk sekitar terutama pihak Pemkab Simalungun. Hotel, resort, villa dan bungalow dibangun, bak gula yang mengundang semut.
Mutiara Br. Manurung (46) adalah salah satu yang mendapat manfaat dari kemolekan Danau Toba, dengan membangun lapak pondokan tempat istirahat di tepian danau dengan dana pribadi sekaligus menjual menu makanan hingga minuman.
“Kalau untuk bulan puasa, selama sebulan itu sepi pengunjung. Namun saat Idul Fitri akan ramai lagi. Pengunjung itu harus dihargai, kita harus ramah terhadap mereka istilahnya take and give,” ucap ibu tiga anak ini.
Diungkapkannya, untuk harga lapak di hari biasa, hanya Rp50 ribu. Sedangkan pada hari libur dihargai Rp100 ribu. “Jika mengambil tiga lapak, kami hanya mematok harga Rp250 ribu saja,” terang istri Marga Sinaga yang pernah mengeyam pendidikan di Universitas Nomensen, Medan itu.
Pondok Sunrise milik Sinaga yang berukuran 3×5 meter ini dilengkapi dengan toilet gratis jika sudah menyewa lapak pondoknya yang berlokasi di Pantai Kasih Kelurahan Tiga Raja.
“Disekitar sini ada 4 pantai, Pantai Soekarno, Pantai Kasih, Pantai Marihat dan Pantai Telaga Biru. Jadi bangunan ini dulunya tempat sampah, bersama warga setempat suami saya membersihkan dan membangun pondok-pondok ini. Sudah 20 tahun bersama suami dan anak-anak mengelola tempat ini, sampai anak yang tertua wisuda sarjana,” katanya.
Sudut pandang Sinaga yang pernah menjadi guide di Pulau Dewata, Bali diadopsi dan dibawa kembali ke kampung halaman bagaimana tentang ramah tamah dalam industri pariwisata mutlak dibutuhkan. Industri pariwisata yang disuguhkan etnis berbeda dalam menjual potensi wisata alam untuk merayu wisatawan datang dan berkunjung kembali benar-benar diterapkan.
“Saya tak mengandalkan penghasilan dari sini karena semuanya ada pasang surutnya, kebutuhan anak setiap tahun berbeda, jadi saya di rumah berdagang pakaian bekas bermerk dan berkualitas,” ujarnya.
Ditempat berbeda, seorang pedagang nasi bernama Ratih yang membuka warung berdekatan dengan bungalow milik PTPN 2 mengatakan, selama air Danau Toba masih ada, kota kecil ini akan tetap dikunjungi wisatawan.
Baca juga: Teknisi Jaringan Diskominfo Pakpak Bharat Perbaiki Tower Pemancar
“Apalagi sekarang memang sudah banyak tempat wisata baru ada dimana-mana. Kalau sepi itu hal biasa, mengingat kebutuhan setiap orang berbeda-beda, mungkin soal waktu, mungkin juga soal dana,” ujar perempuan yang asli lahir di Parapat tersebut.
Kini destinasi wisata yang tak mengandalkan keindahan alam sudah banyak yang dikelola pihak swasta. Kalau pihak Pemkab Simalungun dan Kecamatan Girsang Sipangan Bolon tak membenahi pariwisata Kota Pariwisata Parapat, niscaya keberadaannya akan kumuh. (KRO/RD/BS)