RADARINDO.co.id-Medan : Tidak sedikit oknum pemimpin perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengakibatkan karyawan menjadi korban kebijakan secara sepihak.
Sehingga para pekerja dirugikan karena tidak memiliki kekuatan argumen menyampaikan hak- haknya yang ditindas. Tidak hanya itu, oknum pimpinan manajemen juga melakukan hal yang tidak terpuji dengan membohongi karyawan yang di PHK dengan melakukan Pungutan Liar (Pungli) dengan cara mengurangi besaran hak yang diterima berbeda dengan berita acara penyerahan uang PHK.
“Hal ini terjadi pada klien kami sebagai karyawan BUMN yang di PHK secara sepihak dengan menyampaikan argumen yang santun namun ternyata terjadi pemutranbalik fakta sehingga merugikan para karyawan,” ujar Ahmad Sukri Lubis, SH, MH kepada RADARINDO.CO.ID.
Baca juga : Pj Bupati Batu Bara Hadiri Musrenbang RKPD 2025 Zona Pantai Timur
Kamis (22/02/2024) siang.Hemat saya, ujarnya lagi, oknum pejabat BUMN ini patut dikenakan sanksi tindak pidana. Dimana perbuatan tersebut tidak tertutup kemungkinan dilakukan dengan karyawan yang di PHK sebelumnya.
Terdapat dua terminologi PHK dinyatakan sah atau tidak, jika salah satu tidak terpenuhi maka PHK dianggap tidak sah.
Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan sewajarnya ditandai dengan ditandatanganinya suatu Surat Perjanjian Kerja oleh kedua belah pihak.
Hubungan yang dilakukan antara para pekerja dengan perusahaan ini adalah saling membutuhkan, di mana pekerja membutuhkan untuk mencari nafkah sedangkan perusahaan membutuhkan tenaga pekerja untuk menggerakkan perusahaan.
Tidak dipungkiri di pertengahan jalan terjadi permasalahan antara pengusaha dan pekerja dalam hubungan kerja tersebut, baik sederhana maupun kompleks, baik yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan maupun jalur hukum.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 mengamanatkan setiap perusahaan untuk sedapat mungkin menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Itu sebabnya, aturan pemerintah tentang mekanisme PHK karyawan lebih rumit ketimbang mekanisme mempekerjakan karyawan. “PHK adalah salah satu sumber penderitaan dan kemelaratan bagi orang yang mengalami PHK. Hal tersebut mengingatkan kita bahwa kebijakan PHK adalah hal yang harus dilakukan secara berhati-hati. Kalau PHK itu dengan mudah dilakukan, itu sama dengan artinya membuat orang menderita,” tegasnya.”
Prinsip dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa hukum ketenagakerjaan harus mempersulit PHK. PHK hanya dapat dilakukan dengan 15 alasan yang sah secara hukum, sebagaimana disebutkan dalamUU No.11 Tahun 2020 maupun PP No.35 Tahun 2021, antara lain efisiensi, pailit, perusahaan tutup, dan force majeure.
“Kalau PHK mudah dilakukan, maka para pengusaha akan semena-mena melakukan PHK dan dampaknya akan menimbulkan penderitaan dan kelemelatran bagi orang yang mengalami PHK,” katanya lagi. Saat ini keleluasaan melakukan PHK ada pada pengusaha ketimbang pekerja.
Namun, pekerja dapat melakukan PHK yang sebutannya adalah permohonan PHK dengan alasan jika pekerja disuruh atau diperintah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. “Yang berhak melakukan pemutusan hubungan kerja adalah pengusaha, selama karyawan sudah masuk masa pensiun dan tidak melanggar PP atau PKB dan alasan tertentu lainnya.
Kemudian, pekerja dapat mengajukan permohonan PHK dengan alasan sakit atau cuti. Lalu, Pengadilan Hubungan Industrial bisa memutus hubungan kerja lewat mengadili gugatan pengusaha atau pekerja dan ini berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Sejumlah terminologi terkait kasus PHK ada beberapa hal yaitu alasan PHK dan dokumen pembuktian PHK. Pengusaha tidak dapat melakukan PHK sesuai kemauannya, seluruhnya harus terukur dan dibuktikan.
Jika pengusaha tidak mempunyai dokumen yang membuktikan karyawan melakukan pelanggaran, maka alasan PHK tidak sah. Apabila syarat formil tidak terpenuhi maka PHK dianggap tidak sah.
Syarat materil juga harus terpenuhi, yang meliputi pelanggaran apa yang dilakukan pekerja. Kedua sayarat ini satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, jika salah satu tidak terpenuhi maka PHK dianggap tidak sah, cetus Ahmad Sukri Lubis SH, MH.” Jika mengacu UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PHK disebut sah jika terjadi dua kondisi.
Pertama, adanya Perjanjian Bersama yang disepakati perusahaan dan pekerja. Kedua, adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang inkrah atau berkekuatan hukum tetap,” ungkapnya.
Baca juga : Anggaran KPPS Pemilu 2024 di Desa Helvetia Dipotong Rp 500 Ribu
Maka, lanjutnya, Apabila terjadi PHK, pengusaha wajib membayar kompensasi yang besarannya sesuai dengan alasan PHK yang dijatuhkan. Adapun kompensasi tersebut berupa, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Jika ada perusahaan melakukan PHK secara tidak sah dan terdapat unsur pungli sehingga mengakibatkan karyawan menjadi korban maka layak mendapat atensi dari pimpinan perusahaan. Termasuk atensi dari Aparat Penegak Hukum. (KRO/RD/TIM)