Kenapa Penggarap Lahan Ex HGU PTPN II Bisa Kena Pidana, Ini Alasanya

71

RADARINDO.co.id-Medan: Sejatinya manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan oleh karena satu sama lain saling berkaitan dan saling membutuhkan. Untuk itu, dalam pengelolaan pertanahan yang melahirkan suatu hak atas tanah dibutuhkan hukum sebagai aturan mainnya.

Salah satu esensi terkuat yang dikandung oleh hak atas tanah adalah adanya hak keperdataan seseorang atau badan hukum yang ditunjuk sebagai subjek pemegang hak atas tanah.

Baca juga : Sebabkan Banjir, Gorong-gorong Sungai Deli Titipapan “Ditembak” Damkar

Hak keperdataan yang dikandung dalam hak atas tanah merupakan hak kebendaan yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum pertanahan Indonesia.

Maka hak melekat masih tercatat di PTPN II, artinya para penggarap Oleh warga tidak boleh sertamerta mengalihkan hak atas tanah pada pihak lain. Apalagi sampai menerbitkan surat tanah yang tidak berkekuatan hukum, bisa terkena pidana karena pemalsuan. Karena dapat dikategorikan sebagai penggarap liar.

Tugas Aparat Penegak Hukum harus berani mengambil tindakan tegas terhadap para penggarap liar diatas lahan Ex HGU PTPN II. Tidak tertutup kemungkinan mereka menggarap sejak awal atau membeli dari oknum mafia tanah. Maka proses secara hukum harus dilakukan dengan cara memanggil dan memproses satu per satu warga penggarap untuk membuktikan mereka punya alas hak tanah yang sah.

Baca juga : Peserta Kursus Desain Grafis LKP Ziona Kunjungi Rumah BUMN Gunungsitoli

“Jika mereka tidak mau menunjukkan surat tanah maka harus dilakukan proses hukum. Sebab bangunan permanen yang mereka dirikan telah melanggar hukum dan merusak lingkungan hidup,” ujar Albert Nainggolan SH.

Mereka para penggarap liar harus menunjunkan itikad baik sebagai warga. Sebab ada warga yang menguasai fisik namun mereka memiliki alasan hak yang berkekuatan hukum. Serta sudah mengikuti proses nominatif.

“Mereka yang sudah mengikuti proses nominatif berarti mengerti dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.

Justru mereka yang mendaftarkan nominatif itu akan menguntungkan warga yang menguasai fisik. Bukan sebaliknya, kata Nainggolan.

Aparat Penegak Hukum harus ikut serta melakukan penyelamatan aset yang dirongrong mafia tanah. Oknum mafia tanah yang melakukan azas manfaat berpotensi merugikan negara, melawan hukum dan memperkaya diri. Sehingga wajar dilakukan edukasi hukum. Hal ini sampaikan Albert Nainggolan SH melalui siaran pers yang diterima RADARINDO.CO.ID belum lama ini.

Kita sangat prihatin kepada warga yang menguasai fisik dan memiliki alas hak tanah dan sudah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tapi sering terjadi diatas fisik dikuasai dan diusahai orang lain sehingga muncul masalah dan tidak jarang bentrok fisik dilapangan.

Siapa pun mereka yang menggarap atau menguasai bahkan diatas lahan sudah mereka didirikan bangunan diduga menggunakan surat asli tapi palsu alias aspal bisa kena pidana. Maka mereka bisa diproses secara hukum karena telah menguasai dan mengusahai tanah Ex HGU PTPN II secara tidak sah. Serta sudah melakukan pengerusakan lingkungan hidup.

Munculnya dokumen diatas lahan dimaksud tidak sesuai dengan matriks dan peta lokasi dari luas lahan Ex HGU 5.873,06 ha. Bahkan lebih parahnya lagi, beredar juga surat keterangan tanah atau SKT yang ditandatangani pejabat yang sudah lama meninggal dunia.

Tidak cukup sampai disini, para investor malah ikut berperan ingin membangun usaha. Padahal diujung cerita mereka para penjual dan pembeli tidak jarang saling lapor dan saling gugat hingga ke pengadilan.

“Hemat saya, mereka penggarap harus bisa membuktikan legalitas yang sah untuk diuji keabsahan bila terbukti itu aspal maka disitulah delik pidana mereka. Kita berkeyakinan besar surat surat hasil rekayasa atau manipulasi,” ungkapnya.

“Warga penggarap lahan Ex HGU PTPN II bisa kena pidana karena menggunakan surat tanah palsu. Itu saja yang menjadi pegangan penyidik untuk mendalami dan menelusuri dalang intelektual

Yang anehnya lagi, PTPN II sudah melakukan sosialisasi tentang tanah Ex HGU PTPN II agar segera mendaftarkan sesuai dengan ketentuan. Namun himbauan perusahaan tidak diindahkan.

“Sosialisasi ini tentu untuk mendaftar nominatif yang sesungguhnya menguntungkan mereka bagi warga yang mengklaim memiliki tanah. Sedangkan mereka penggarap yang tidak mau mendaftarkan nominatif diduga memiliki surat palsu. Maka harus dilakukan penyelidikan dan penyidikan surat yang mereka miliki,” ungkapnya.

Tim B-Plus dibentuk Pemprov Sumut pada Februari 2000 dan muncul tim verifikasi dan identifikasi yang dibentuk gubernur. HGU PTPN 2 untuk lahan seluas 5.873,06 hektare tidak diperpanjang lagi, sesuai Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 42, 43 dan 44 Tahun 2002 dan Nomor 10 Tahun 2004.

Lahan eks HGU seluas 5.873,06 hektar yang dikeluarkan, sudah diverifikasi oleh tim B-Plus pada 2000 dan terdapat dasar mengapa tanah tersebut dikeluarkan. Beberapa pertimbangannya seperti tanah sudah digarap masyarakat.

Status tanah adalah dikuasai negara sehingga masyarakat untuk mendapatkan haknya tinggal mengikuti prosedur saja. Tidak jarang terjadi sekarang, warga mencari cukong yang bisa membiayai tanah tersebut. Akhirnya tanah dikuasai mafia tanah, namun sering berujung ribut dan saling lapor.

Maka warga penggarap tanah Ex HGU PTPN II yang tidak bisa menunjukkan surat sah dan berkekuatan hukum harus diproses dan bisa kena pidana. (KRO/RD/TIM)