PTPN XII Diminta Tagih Utang PT IGG Senilai Rp433,89 Miliar

20

RADARINDO.co.id-Medan: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dalam audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas pengelolaan pendapatan, biaya dan kegiatan investasi tahun 2019, 2020, dan 2021 sampai dengan Semester I pada PTPN XII dan instansi terkait di Jawa Timur dan DKI Jakarta menemukan beberapa kelemahan yang harus ditindaklanjuti oleh pihak BUMN.

Baca juga : Dirut PalmCo Jatmiko Santosa “Ogrok-ogrok” Dana Insentif Jadi Penambahan IJT

Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk menilai aktivitas manajemen dalam mengelola pendapatan, mengendalikan biaya, dan investasi.

Pokok-pokok hasil pemeriksaan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu terkait pengelolaan dan pengolahan raw sugar impor PT IGG tahun 2020 tidak sesuai dengan ketentuan.

BPK RI dalam auditnya menulis, kekurangan penerimaan atas penjualan tebu tahun 2019 sebesar Rp4,12 miliar, dan PTPN XII memiliki piutang tidak lancar senilai Rp433,89 miliar kepada PT IGG, serta jaminan pelaksanaan tidak diperpanjang dan terdapat kekurangan volume senilai Rp1,23 miliar pada empat paket pekerjaan investasi non tanaman.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, BPK RI merekomendasikan Direktur PTPN XII agar menarik denda keterlambatan pengambilan gula kristal putih (GKP) eks raw sugar impor di gudang PTPN X ke pembeli PT SS dan CV IMK senilai Rp0,11 miliar, dan menagih kekurangan penerimaan atas penjualan tebu tegakan tahun 2019 kepada PT IGG senilai Rp4,12 miliar, serta menagih utang PT IGG senilai Rp433,89 miliar.

Selanjutnya BPK RI memerintahkan agar menyetorkan ke Kas PTPN XII atas kelebihan pembayaran kepada PT DKN, CV ARC dan PT WKM senilai Rp0,25 miliar dan memperhitungkan pada pembayaran termin berikutnya kepada CV SI dan PT WKM senilai Rp0,89 miliar.

Baca juga : Bupati Samosir Berangkatkan Dua Jamaah Umroh ke Tanah Suci

Hal itu tertulis pada LHP BPK RI Nomor: 01/AUDITAMA VII/PDTT/01/2022 tanggal 22 Januari 2022. Koordinator Analisa Data dan Pelaporan Republik Corruption Watch (RCW), Sunaryo dalam tanggapannya menyebutkan bahwa hal yang lebih parah lagi kerap terjadi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang jumlah indikasi kerugiannya tak sedikit nilainya.

“Jika dilihat dari LHP BPK RI pada PTPN Perkebunan di bawah tahun 2019, dalam kurun waktu beberapa tahun indikasi kerugian negara bukan lagi ratusan miliar, namun tidak dapat diyakini kebenarannya dalam hal pengembaliannya. Jadi wajar bila publik menilai BUMN selalu merugi” ungkapnya kepada media ini, Sabtu 17 Agustus 2024.

Karena permasalahan seperti ini bukanlah hal baru, katanya, melainkan sudah berulang terjadi dan terkesan merupakan modus untuk mencari keuntungan semata.

“Proses pengurusan ganti rugi kepada negara harus segera diproses atau diurus tepat waktu sesuai UU No 1 Tahun 2003, karena ada waktu kadaluwarsa yang berakibat tidak bisa tertagih dan menjadi ke ranah hukum,” katanya.

Namun saat hal ini akan dikonfirmasikan kepada pihak PTPN XII belum dapat ditemui.

(KRO/red-02).