Tiga SP Ketenagalistrikan Tolak Holdingisasi, Ingatkan Ada Potensi Pelanggaran Konstitusi

369
Tiga SP Ketenagalistrikan Tolak Holdingisasi, Ingatkan Ada Potensi Pelanggaran Konstitusi
Tiga SP Ketenagalistrikan Tolak Holdingisasi, Ingatkan Ada Potensi Pelanggaran Konstitusi

RADARINDO.co.id – Medan : Tiga Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) Ketenagalistrikan Indonesia dengan tegas menolak Holdingisasi dan IPO. Konon untuk mengingatkan adanya potensi pelanggaran dalam Subholding dan IPO pembangkita yang dimiliki PT PLN (Persero).

Hal tersebut disampaikan setelah melakukan pertemuan media untuk menyatakan sikap penolakan terhadap Privatisasi melalui Subholding dan IPO, Selasa (27/07/2021).

Baca juga : Pemko Medan dan DPRD Lanjutkan Pembahasan Ranperda Tentang Penetapan Zonasi PKL

Demikian diutarakan Ketiga Ketua Umum Serikat Pekerja di sektor Ketenagalistrikan yang terdiri dari Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) atau SP PLN, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT. Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), yang diterima RADARINDO.co.id Senin (02/08/2021)sore.

Disebutkan bahwa mereka (SP Ketenagalistrikan Indonesia, telah mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sesuai surat No. 001/SPPLN-PPIP-SPPJB/PST/VII/2021.

Perihal sikap bersama penolakan Holdingisasi dan IPO Sektor Ketenagalistrikan Indonesia untuk mengingatkan adanya potensi pelanggaran Konstitusi dalam program Subholding dan IPO pembangkit yang dimiliki oleh PT. PLN (Persero)

Pengiriman surat bersama tersebut, semata-mata hanya menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo yang dilontarkan pada Januari 2017 pada acara Executive Leadership Program bagi Direksi BUMN.

Dimana pada acara tersebut, pada pidato pembukaan secara tegas Presiden Joko Widodo menyatakan beberapa catatan tentang pembentukan holdingisasi BUMN. Salah satu catatan tersebut adalah harus taat pada aturan hukum yang berlaku.

“Tetap harus dengan catatan-catatan, menaati Undang-Undang yang ada, ini harus dijaga ada proses yang kita harus lakukan,” ujarnya.

Sementara itu, Serikat Pekerja PLN Group dari awal pembentukannya telah konsisten menentang hilangnya penguasaan Negara pada sektor ketenagalistrikan dengan cara Privatisasi (Swastanisasi) dan juga Unbundling dengan melakukan Judicial Review Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan dan juga Judicial Review Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang tetap konsisten pada 2 (dua) kali putusan Judicial Review tersebut menetapkan Tenaga Listrik termasuk ke dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan oleh sebab itu harus dikuasai oleh Negara.

Sehubungan dengan makna penguasaan Negara, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan judicial review UU Ketenagalistrikan.

Disebutkan bahwa untuk usaha ketenagalistrikan maka yang menjadi Holding Company-nya adalah PT. PLN (Persero).

“Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, atau kah bisa”, ujar Ketua Umum SP dengan bertanya.

Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN.

Tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”.

PT. PLN (Persero) dari tahun ke tahun mendapatkan subsidi dan kompensasi yang tidak sedikit untuk memastikan fungsi dan tugasnya menyediakan tenaga listrik yang handal dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan laporan keuangan PT. PLN (Persero) audited tahun 2020, beban usaha terbesar PT. PLN (Persero) No.1 adalah Pembelian Energi Primer sebesar 35% dan No.2 adalah Pembelian Tenaga listrik swasta (IPP) sebesar 33%, tegasnya.

“Angka ini jauh sekali dibandingkan dengan Biaya Pemeliharaan yang hanya sebesar 7%. Perlu diingat bahwa Energi Primer dan Pembelian Listrik Swasta (IPP) merupakan hal yang di luar kontrol dari PT. PLN dan menjadi penyebab ketidakefisienan dan mahalnya tarif listrik”, ujar Ketua Umum DPP SP PLN didampingi, Ketua Umum PP Indonesia Power, Dwi Hantoro, dan Ketua Umum SP PJB, Agus Wibawa.

Lebihlanjut dikatakan, bila program Subholding dan IPO tetap di laksanakan tentu saja akan menambah beban usaha pada bagian pembelian tenaga listrik.

Sehingga untuk tetap bisa melakukan fungsi dan tugasnya maka mau tidak mau beban tambahan tersebut akan menjadi tambahan subsidi dan kompensasi yang harus di berikan oleh Negara kepada PT. PLN.

Hal ini juga kami singgung dalam surat bersama, yaitu pada poin 5, dimana akan memberatkan keuangan negara. Dan kedepan bila Negara tidak mampu lagi memberikan subsidi maka beban tersebut akan langsung di teruskan kepada harga jual listrik ke masyarakat.

Hal ini tentu saja sangat merugikan masyarakat karena rakyat harus membayar harga listrik lebih mahal melebihi kapasitas yang diperlukan sebagai akibat dari kewajiban pembelian take or pay (TOP) listrik swasta sebesar minimum 70% oleh PT. PLN di saat kebutuhan listrik masyarakat hanya sebesar 53%.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana fungsi PT. PLN dalam menyediakan tenaga listrik kepada masyarakat berkaitan erat dengan Ketahanan Energi Negara.

Dalam kasus black out Jawa Bagian Barat selama 6 jam di tahun 2019 sudah mengajarkan kita bahwa segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tenaga listrik.

Belum lagi bila merujuk pada kasus black out Pulau Nias selama 5 hari pada tahun 2016 karena sektor ketenagalistrikan tidak dikuasai oleh Negara sesuai panduan Konstitusi.

Dan program Subholding dan IPO ini akan menghilangkan penguasaan Negara sesuai panduan Konstitusi. Siapa yang akan terkena dampaknya?. Tentu saja, yang paling terdampak adalah masyarakat.

Baca juga : Tiga Tahun Laporan Dugaan Malpraktek RS MT di Poldasu Tak Tuntas

Indonesia telah terikat dengan Paris Agreement yang sepakat mengedepankan pembangkit energi baru terbarukan dan karena alasan itu unit pembangkit geothermal yang dimiliki oleh PT. PLN dan anak usahanya amatlah penting dan strategis bagi PT. PLN sebagai satu-satunya BUMN yang mendapat penugasan menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum berdasarkan PP No. 23 Tahun 1994.

Untuk itu maka menjadi fungsi dan tugas PT. PLN dalam meningkatkan bauran energi dan memulihkan nama baik PT. PLN yang mewakili Pemerintah Indonesia di mata publik nasional dan internasional terkait isu lingkungan hidup. (KRO/RD/Lbs)