RADARINDO.co.id – Jakarta: Hingga saat ini, kasus dugaan korupsi di Pertamina, masih menjadi perbincangan hangat dan terus disorot. Dimana, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kerugian negara Rp193,7 triliun per tahun.
Hal tersebut terjadi selama lima tahun dari 2018 hingga 2023. Sehingga total kerugian negara ditaksir Rp968,5 triliun. Dalam kasus ini, total ada tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Lahan Seluas 5764 Hektare Milik Duta Palma Group Disita
Yakni, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YK), dan Vice President Feedstock Management PT KPI Agus Purwono (AP).
Selain itu, Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW), serta Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Sekretaris Kementerian BUMN (2005-2010), Muhammad Said Didu mempertanyakan langkah Presiden Prabowo Subianto terkait kasus itu. “Presiden Prabowo sedang menggulung karpet merah mafia migas atau ganti mafia?,” kata Said Didu dalam akun X pribadinya, Rabu (26/2/2025) lalu.
Menurutnya, penangkapan Muhammad Kerry Andriantono Riza (MKAR), putra pengusaha minyak dan gas Mohammad Riza Chalid (MRC) oleh Kejaksaan Agung terkait dengan supply bahan baku dan BBM ke Pertamina menjadi tanda yang baik dalam memberantas mafia migas di Indonesia.
MKAR diduga memperoleh keuntungan dari mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
“Penangkapan pejabat Pertamina dan Putra MRC oleh Kejaksaan Agung, semoga sebagai langkah Bapak Presiden Prabowo menggulung karpet merah mafia migas Indonesia yang selama ini diberikan oleh rezim-rezim sebelumnya kepada mafia Migas tersebut,” tuturnya.
Dikatakan, publik paham bahwa MRC memiliki sejarah panjang sebagai pihak yang selalu mendapatkan karpet merah oleh rezim-rezim sebelumnya dalam mengatur tata niaga migas Indonesia.
Dia bercerita, pada tahun 2008 saat Pertamina berkeinginan menghentikan peran Petral dalam mengatur perdagangan migas Pertamina untuk dikendalikan langsung oleh Pertamina lewat ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina.
Saat itu, Deputi Direktur ISC Pertamina dipegang oleh Sudirman Said yang sedang menyiapkan perubahan tersebut, tapi diminta menghentikan proses pengalihan dan meminta agar pengaturan perdagangan dikembalikan ke Petral lagi.
Petral merupakan anak perusahaan dari Pertamina PT Pertamina yang terdaftar di Singapura pada tahun 1992. Ditegaskan, perintah seperti ini dapat dipastikan berasal dari keputusan rezim saat itu. Selain program tersebut dihentikan, Sudirman Said juga diberhentikan oleh Dirut Pertamina saat itu (Karen Agustiawan).
“Dan kita semua tahu bahwa Petral hanyalah vehicle yang selama ini dikendalikan oleh Geng MRC. Akhirnya Petral kembali ke fungsinya sebagai pengendali tata niaga migas Pertamina. Cerita tentang penghentian ISC dan Pak Sudirman Said serta Dirut Pertamina (Arie Soemarno – Alm) saya paham betul, tapi belum saatnya dibuka,” tuturnya.
Pria kelahiran Pinrang Sulsel ini mengatakan, pada tahun 2014, Menteri ESDM Sudirman Said membentuk Satgas Anti-Mafia Migas yang diketuai oleh almarhum Faisal Basri dan menemukan bahwa transaksi perdagangan Migas di Petral sebagian besar jatuh ke tangan MRC dan Satgas tersebut merekomendasikan pembubaran Petral.
Atas rekomendasi Satgas tersebut maka 2015, Menteri ESDM meminta Pertamina untuk melakukan audit investigasi terhadap Petral dan hasilnya sudah dilaporkan ke Presiden Jokowi tahun 2015.
Hasil audit tersebut menunjukkan bahwa ada persekongkolan dalam pengadaan migas selama ini. Presiden Joko Widodo saat itu sempat ragu untuk meminta Menteri ESDM untuk melaporkan hasil audit tersebut ke KPK.
Baca juga: Eks Kepala Kanwil Pajak Jadi Tersangka Gratifikasi Rp21,5 Miliar
“Tapi Pertamina dan Menteri ESDM tetap melaporkan ke KPK tapi semua mandeg. Saat itu, sepertinya mafia migas kembali kuat,” jelas Said Didu.
Lalu pada tahun 2015 terbuka kasus Papa minta saham Freeport. Tokoh utama kasus tersebut adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto dan MRC.
Atas kasus tersebut, Setya Novanto sudah menjalani hukuman dengan berhenti sebagai Ketua DPR tapi MRC tidak tersentuh sedikit pun, bahkan berkali-kali sering muncul sebagai tamu VIP Presiden Joko Widodo. (KRO/RD/FJ)