RADARINDO.co.id-Medan: Wayang merupakan warisan budaya yang menyimpan sejarah dan media education bernilai tinggi menyampaikan pesan. Sejarah perwayangan mencakup cerita tradisional Jawa dan unsur Hindu dan Islam.
Demikian dikatakan Ketua Umum Satgas Joko Tingkir, Sukirmanto SH, saat ngopi bareng bersama Pemimpin Redaksi KORAN RADAR GROUP, Ratno SH, MM di salah satu cafe di Medan Johor, belum lama ini.
Baca juga : Danki Kavaleri 6/RBT Kodam I/BB Silaturahmi Kunjungi Kapolsek Siak Hulu
Untuk itu, ujar pria purnawirawan TNI AD ini, wayang merupakan pertunjukan wayang kulit klasik Jawa yang diketahui berkembang sejak sebelum abad ke-10.
“Wayang terkenal dengan pertunjukannya yang rumit dan diatur dan bentuk cerita kuno ini berasal dari pulau Jawa di Indonesia,” ungkapnya.
Budaya Jawa yang memiliki nilai spiritual tinggi, maka harus dibudayakan ditengah masyarakat sehingga generasi anak bangsa dapat mengetahui sejarah perwayangan.
Istilah pewayangan, berasal dari kata Indonesia untuk “bayangan”. Wayang kulit dengan menggunakan figur yang terbuat dari kulit kerbau, dianggap sebagai bentuk wayang tertua yang berdiri sendiri, referensi paling awal untuk wayang jenis itu berasal dari tahun 800-an.
Sebenarnya banyak versi terkait sejarah wayang dan bagaimana wayang pertama kali menjadi tradisi pertunjukan di Indonesia, ujarnya dengan senyum.
Seorang dalang piawan bisa memberi sugesti sehingga penonton bisa menangis, sedih, dan terharu bahkan tersenyum.
Padahal mereka tahu bahwa itu hanyalah potongan-potongan kulit yang diukir yang dimanipulasi dan dibuat untuk berbicara. Uniknya, sang dalang bisa melakokan suara yang berbeda-beda, dengan iringan musik gamelan.
Sejak beberapa tahun lalu tidak sedikit para turis mancanegara dari negara-negara barat, tertarik tentang perwayangan. Bahkan sudah ada orang bule wanita yang menjadi dalang.
“Menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan lakon suara yang berbeda-beda. Ini sangat luar biasa,” tutur Sukirmanto SH.
Perkembangan seni ini secara luas terjadi selama periode Hindu-Buddha, terutama antara 800 dan 1500. Menurut mitos, seorang pangeran bernama Aji Saka membawa aspek budaya India ke Jawa.
Ritual panjang pembukaan pertunjukan wayang untuk merayakan kedatangannya di pulau itu. Yang mana, Aji Saka datang dengan membawa Honocoroko Abjad Jawa Sansekerta, yang kemudian dia bagi menjadi empat.
Menyebar seperempat ke masing-masing dari empat arah dan dengan demikian mentransmisikan melek huruf dan kemakmuran ke seluruh negeri, sesuai dikutip dari berbagai sumber.
Lebihlanjut dikatakan, bahasa yang digunakan oleh dalang dalam lagu dan narasi wayang sudah dicampur dengan kata-kata berbasis Sansekerta.
Sementara itu, orang Bali (yang tetap Hindu) percaya wayang diperkenalkan oleh pengungsi dari Majapahit, kerajaan Hindu-Budha terakhir di Jawa, ketika jatuh sekitar tahun 1520.
Sedangkan, di Jawa, dalang mengatakan seni itu ditemukan oleh wali, sembilan orang suci yang masuk Islam dan berasal dari Jawa. Salah satu cerita yang dituturkan dalang Sunda adalah Sunan Gunung Jati, seorang wali Cirebon, sedang berbincang dengan wali lain, Sunan Kalijaga, tentang bagaimana menarik orang untuk masuk Islam.
Sunan Gunung Jati menggambar sosok wayang di tanah dengan tongkat. Kalijaga mengerti dan menciptakan wayang kulit pertama.
Dia mempersembahkan penampilan pertamanya di masjid setempat, dan untuk masuk, penonton harus membaca syahadat.
Meskipun wayang mencakup cerita tradisional Jawa dan unsur-unsur Hindu, kebanyakan dalang adalah seorang Muslim. Dalang kontemporer menganggap diri mereka sebagai keturunan literal atau spiritual para wali.
Jenis wayang di Indonesia terdapat beberapa tipe wayang diantaranya Wayang Purwa. Ini dianggap sebagai gaya tertua dan gaya wayang paling populer yang banyak digunakan. Pegangan wayang utama yang secara tradisional terbuat dari tanduk kerbau berada di tengah dan seluruh bagian wayang mulai dari kaki, pinggang, dada, hingga kepala dan rambutnya.
Wayang parwa adalah wayang dari Bali. Wayang jenis ini biasanya dibawakan dengan menggunakan ‘blencong’, cahaya tertentu yang berasal dari perunggu yang diisi dengan lilin minyak kelapa.
Wayang Betawi adalah gaya tertentu yang populer di kalangan masyarakat dan budaya Betawi atau ibu kota Indonesia saat ini Jakarta.
Wayang Sasak adalah gaya wayang ini berasal dari Nusa Tenggara Barat, di bagian timur Indonesia. Gaya Wayang ini dikembangkan agar portabel bersama dengan alat musik yang disederhanakan.
Gaya wayang ini populer di Palembang, bagian selatan Pulau Sumatera. Wayang jenis ini memiliki pilihan penggunaan warna yang berbeda dengan wayang yang dikembangkan di Jawa. Wayang ini mengadaptasi bahasa Melayu Palembang dalam pementasannya, ada orkestra gamelan dan juga rebana.
Wayang Cirebon populer di daerah Cirebon di Jawa Barat. Wayang ini dibawakan dengan menggunakan campuran bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Pilihan warna pada wayang biasanya berani, warna kontras.
Wayang Kancil, Wayang tidak selalu menampilkan cerita tentang bangsawan dan dewa. Ada juga gaya yang hanya menampilkan cerita yang berhubungan dengan hewan. Yang paling terkenal adalah kancil ini, yang dikenal suka mencuri mentimun.
Gaya wayang ini dianggap sebagai wayang kontemporer. Gaya ini berkembang pada tahun 70-an. Gaya tersebut mendobrak standar tradisional pembuatan wayang. Wayang Ukur menawarkan standar pertunjukan yang lebih sederhana dengan memanfaatkan musik digital.
Baca juga : Ketum Joko Tingkir : Ferdy Sambo dan Pelaku “Obstruction of Justice” Harus Diproses Pidana
Fungsi wayang adalah sebagai media efektif dalam menyampaikan pesan, informasi dan pelajaran. Dulu digunakan sebagai media efektif dalam menyebarkan agama mulai dari agama Hindu sampai agama Islam.
Karena begitu luwesnya wayang hingga saat ini eksistensinya masih kuat dan digunakan untuk berbagai keperluan. Fungsi asalnya, wayang merupakan ritual yang ditujukan untuk roh leluhur bagi penganut kepercayaan “hyang”.
Selanjutnya, wayang mengalami pergeseran peran, yaitu sebagai media komunikasi sosial. Dalam lakon-lakon yang ditampilkan dalam pewayangan biasanya menyimpan beberapa nilai, seperti pendidikan, kebudayaan dan ajaran-ajaran dari filsafat Jawa. Peran ini lambat laun mengalami pergeseran, hingga wayang hanya sebatas hiburan atau tontonan.
“Bangsa yang cerdas adalah bangsa mau menghormati sejarah budaya,” ujar Ketua Umum Joko Tingkir. (KRO/RD/TIM/tirto.id)