Ketum Joko Tingkir : Ferdy Sambo dan Pelaku “Obstruction of Justice” Harus Diproses Pidana

236

RADARINDO.co.id-Medan: Kasus kematian Brigadir Josua lambat-laun sudah menunjukan titik terang. Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo telah menjalani sidang kode etik profesi Polri, Kamis 25 Agustus 2022 resmi memecat Ferdy Sambo, namun banding.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah memutasi 24 personel Polri terlibat pelanggaran kode etik dalam penyidikan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Josua.

Baca juga : Ketua Umum Joko Tingkir : Kekuatan Umat Islam Untuk Menyatukan Indonesia

Mutasi itu tertuang dalam surat telegram rahasia bernomor ST/1751/VIII/KEP./2022 tertanggal 23 Agustus 2022. 24 personel dimutasi itu terdiri dari 10 personel dari Divisi Propam, 2 personel Bareskrim, 2 personal Korbrimob BKO Propam, 9 dari Polda Metro Jaya/Polres Jakarta Selatan, dan 1 Polda Jateng BKO Propam.

Tim Inspektorat Khusus (Itsus) Polri telah memeriksa 97 polisi terkait dengan pelanggaran kode etik upaya menghalangi penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Josua.

Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan sebagian polisi tersebut telah melakukan “Obstruction of justice” atau penghalangan penegakan keadilan. Bentuknya adalah menghilangkan barang bukti, merekayasa dan menghalangi penyelidikan pembunuhan Brigadir Josua.

Itsus Polri juga menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh enam orang anggota Polri pada saat penanganan awal tewasnya Brigadir Josua.

Keenam orang anggota Polri tersebut adalah Irjen Ferdy Sambo (saat itu Kadiv Propam Polri), Brigjen Hendra Kurniawan (sebagai Karopaminal Divisi Propam Polri), dan Kombes Agus Nurpatria (selaku Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri).

Kemudian AKBP Arif Rahman Arifin selaku Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri, Kompol Baiquni Wibowo selaku PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, dan Kompol Chuk Putranto selaku PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri.

Perbuatan menghalangi proses peradilan (Obstruction of Justice) merupakan perbuatan melawan hukum. Para pelaku menerabas dan menentang penegakan hukum dan perbuatan itu merupakan tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.

Tindakan menghalangi proses peradilan sudah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Hukum Pidana Khusus Obstruction of Justice dalam KUHP.

Hal itu disampaikan Ketua Umum, Sukirmanto, SH saat dimintai tanggapan kasus Sambo, pada RADARINDO.co.id GROUP KORAN RADAR di Asrama Haji Medan, Minggu 28 Agustus 2022 siang.

“Perbuatan obstruction of justice,” Pasal 221 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa tindakan itu dapat diancam dengan pidana penjara. Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjabat kehakiman atau kepolisian.

Atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan.

Menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya.
Atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.

Pasal 233 KUHP dirumuskan: Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum.

Terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Sementara itu, R. Soesilo memberikan penjelasan terkait Pasal 233 KUHP (hal. 179), sesuai dilansir dari Kompas.com yaitu kejahatan dalam pasal ini terdiri dari tiga macam yakni sengaja menghancurkan dan sebagainya barang yang digunakan untuk meyakinkan atau menjadi bukti bagi kuasa yang berhak (bukti bagi hakim perdata dan hakim pidana).

Sengaja menghancurkan dan sebagainya surat akta, surat keterangan atau daftar yang selalu atau sementara disimpan menurut perintah kekuasaan umum (akta dan daftar yang atas perintah hakim disimpan oleh pegawai atau notaris untuk bukti).

Serta sengaja menghancurkan dan sebagainya surat akta, surat keterangan atau daftar yang diserahkan kepada seorang pegawai maupun kepada orang lain untuk keperluan jabatan umum (misalnya akta dan daftar yang diserahkan pada polisi, jaksa, hakim atau orang lain guna bukti).

Peraturan Kapolri (Perkap) No 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan pada Pasal 41 ayat 3 menyatakan Pengawasan penyidikan dilaksanakan oleh pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan berdasarkan surat perintah atasan penyidik yang berwewenang, apabila terdapat.

Adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan penyidik dan/atau penyidik pembantu dalam menangani perkara berdasarkan pengaduan masyarakat
Atau, penyelidikan dan/atau penyidikan yang menjadi perhatian publik.

Pasal 42 dirumuskan antara lain (1) Apabila hasil pengawasan penyelidikan dan penyidikan ditemukan pelanggaran dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan/atau penyidik pembantu dilakukan Pembinaan.

Apabila melakukan pelanggaran prosedur;
Proses penyidikan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran tindak pidana atau
Pemeriksaan pendahuluan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.

Pasal 8, setiap pejabat Polri dalam etika keperibadian, wajib dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bertanggung jawab, jujur, disiplin, bekerja sama, adil, peduli, responsif, tegas, dan humanis.

Menaati dan menghormati norma hukum, norma agama; norma kesusilaan dan/atau nilai-nilai kearifan lokal.

Pasal 10, setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan, dilarang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur atau SPO.

Antar lain dalam bentuk menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan melakukan permufakatan pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana.

Pasal 17 Perpol 7 Tahun 2022 menetapkan pelanggaran KEPP kategori berat dengan kriteria:
Dilakukan dengan sengaja dan terdapat kepentingan pribadi dan/atau pihak lain
Adanya pemufakatan jahat.
Berdampak terhadap keluarga, masyarakat, institusi dan/atau negara yang menimbulkan akibat hukum.

Menjadi perhatian publik. Pasal 109 menetapkan sanksi administratif dengan kategori sedang dan berat meliputi Mutasi bersifat demosi paling singkat satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun.

Penundaan pendidikan paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun. Penempatan pada tempat khusus paling lama tiga puluh hari kerja; dan PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat).

Baca juga : Terjaring Razia Bersama Selingkuhan di Hotel: Cuma Ciuman Saja Pak Hakim

Apabila ada indikasi pelanggaran hukum pidana, proses dan penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Berdasarkan Pasal 221 KUHP seharusnya pelaku yang terlibat dalam obstruction of justice dilakukan proses hukum pidana. Proses hukum itu penting dilakukan sebagai terapi efek jera sekaligus pencegahan bagi pejabat dan/atau anggota Polri agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan tidak melanggar norma hukum, khusunya kode etik.

Dipenghujung tanggapanya, Ketua Umum Joko Tingkir, Sukirmanto SH, untuk menegakan hukum dan aturan di tubuh kepolisian, maka citra Kepolisian harus dikembalikan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. (KRO/RD/Kompas.com)