Oleh : Budi Sudarman
REMBANG petang baru saja beranjak menjelang malam. Belum juga waktunya sholat Isya berkumandang, namun arus lalulintas begitu padat. Ternyata ada warga setempat yang mengadakan pesta hajatan pernikahan.
Sontak pesta tadi mengundang perdebatan sesaat, ngedumel dan adu argumen yang absurd memenuhi laman jagat maya dan jagat nyata.
Baca juga: Warga Bandar Dolok Resahkan Ternak Sapi Ditengah Pemukiman, Kades “Tutup Mata”
Kita bahas pelan-pelan dan hati-hati seperti mengupas buah Salak pakai tangan tanpa alat bantu sambil menyeruput kopi Sanger di Jalan Bustaman, Kawasan Percut Sei Tuan.
Demografi penduduk sebuah kawasan tertentu saat ini sudah sangat rapat dan padat. Tidak lagi seperti di era 70-an dan 80-an, terlebih pemakaian kendaraan bermotor.
Sementara lahan kosong milik orangtuanya sudah dibagi warisan kepada anak-anaknya begitu juga dengan tetangga dibagi-bagi juga.
Ada yang masih ditempati, ada juga yang sudah dijual ke orang yang bukan saudara lagi. Otomatis lahan tersisa sudah tidak ada lagi, yang tinggal hanya jalan yang lebarnya 6 – 7 meter dengan bahu jalannya.
Namanya hidup Wak…pasti berkembang. Nah karena lahan sudah tidak ada lagi, maka pesta pun dilaksanakan di jalan yang menjadi fasilitas umum. Ada yang memakai setengah badan jalan dan ada juga menutup total, dengan pengalihan arus lalulintas.
Di Kota Medan, “kotanya Bika Ambon”, yang selama ini sebutannya “Ini Medan Bung!”, kini berubah menjadi “Kota Seribu Ketua”. Mengapa?. Karena kalau sudah ada badan jalan ditutup berarti ada pelantikan ketua dan pernikahan anaknya ketua.
Yang namanya pesta, resepsi atau hajatan ditempat yang punya pesta dari sudut pandang sosiologis pada kalangan tertentu ada kebanggaan tersendiri. Lain cerita jika pestanya di aula atau gedung juga punya nilai tersendiri.
Namun secara psikologis akan berdampak pada masing-masing pihak. Bila pesta di rumah, kursi tamu yang dekat septic tank, tetangga di ujung gang yang kesulitan untuk lalu lalang, bilamana tak ada akses jalan lain, bau saluran comberan yang mampet dan masih banyak faktor lainnya.
Pesta yang memakai setengah badan jalan bukan berarti tak menimbulkan masalah antar pengguna jalan. Adakalanya timbul masalah, sehingga sampai berlanjut ke ranah hukum karena salah paham sehingga sampai adu fisik.
Pesta sudah usai, namun persoalan belum juga usai di Kepolisian. Dari sini timbul persoalan sosial, pro kontra dan silang pendapat. “Hanya 12 jam saja bro kuminta sedikit saja pengertianmu, tidak setiap hari, minggu dan bulan ada orang pesta”.
Sementara, yang lain berpendapat. “Jangan egoislah, kita juga tak tahu kelak kematian kita bakal menggunakan tenda yang memakan badan jalan, apa mungkin harus pakai sewa gedung?”.
Persoalan demi persoalan yang timbul merupakan fenomena baru dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti halnya perubahan dari makan hidang di era tahun 80-an berganti pola dengan makan prasmanan.
Baca juga: SMP Swasta Singosari Delitua Kutip Uang Perpisahan Rp350 Ribu, Orangtua Protes
Bergantinya bungkus daun pisang dan jati dengan kertas serta plastik saat kenduri, bergantinya penyewaan rantang kaleng untuk “tonjok’an” dengan nasi ayam penyet dan semuanya itu berubah secara perlahan.
“Perubahan itu pasti terjadi, yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri” (Nothing Indurance But Change),” ungkap Heraclitus seorang filsuf Yunani kuno.
Karena perubahan itu adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalani manusia. Karena sebuah keniscayaan maka pribadi kita akan menjadi adaftif dan fleksibel dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat. Bukankah kita ingin hidup dengan nyaman, aman dan damai?. (*)