RADARINDO.co.id – Nunukan : Rebutan lahan sawit sengketa antara PT Tunas Mandiri Lumbis (TML) dan Kelompok Tani (Poktan) di Nunukan, Kalimantan Utara, semakin memanas. Pihak PT TML dan Poktan saling klaim.
Persoalan ini berawal dari dugaan penggusuran lahan kelompok tani oleh PT TML sejak 2007, yang kini diklaim sebagai bagian dari perkebunan sawit perusahaan. Kelompok tani yang terdiri dari Kelompok Tani Mattiro Bulue dan Kelompok Tani Maju Taka menuntut PT TML atas penguasaan lahan tanpa ganti rugi.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Pokja Awasi Distribusi Pupuk Subsidi
Mereka mengklaim bahwa lahan tersebut telah mereka kelola lebih dulu dengan dukungan program pemerintah berupa bantuan bibit sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun).
Sementara itu, PT TML menegaskan bahwa lahan yang mereka garap telah memiliki izin resmi, termasuk izin lokasi, izin clearing, dan izin Amdal. Namun, kelompok tani menilai bahwa izin tersebut tidak cukup, karena perusahaan belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah untuk menguasai lahan.
Dalam pertemuan mediasi terbaru, sengketa semakin rumit setelah PT TML mengklaim bahwa lokasi objek sengketa yang diklaim masyarakat berbeda dari yang selama ini dipermasalahkan.
“Lahan yang diklaim Pak Karman bukan pada lokasi saat ini, di luar objek sengketa,” ujar Humas PT TML, Chandra, Selasa (11/3/2025), seperti dilansir dari kompas.
Dua perwakilan kelompok tani, Herman (mengklaim 8 hektare lahan) dan Karman (5 hektare lahan), terus menuntut penjelasan atas dugaan penggusuran sepihak oleh PT TML.
Mediasi pertama pada, Kamis (13/2/2025) lalu tidak membuahkan hasil, karena PT TML meminta waktu untuk berkonsultasi dengan Direktur Utama mereka yang saat ini tengah menjalani proses hukum di Polres Nunukan.
Dalam mediasi kedua, perundingan kembali mengalami jalan buntu. Kedua belah pihak bersikeras mempertahankan klaim masing-masing, bahkan saling menantang untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.
Baca juga: Kerangka Manusia Ditemukan Dalam Mobil Milik Oknum Polisi
Pihak PT TML mengklaim memiliki bukti nyata berupa tanaman kelapa sawit yang telah mereka tanam dan kelola, sebagai bukti bahwa lahan tersebut sudah menjadi bagian dari perkebunan mereka secara de facto.
Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh penasihat hukum kelompok tani, Hamseng, yang menegaskan bahwa para petani tetap akan mempertahankan lahan mereka. (KRO/RD/Komp)