RADARINDO.co.id – Medan: Kasus menimpa terdakwa Irno di Medan, kembali menjadi pembicaraan hangat. Pasalnya, putusan perkara biasa (pidana biasa) diubah menjadi Pidana Khusus (Pidsus) dan paling aneh di dunia karena berpotensi melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
Ini merupakan “PR” berat bagi Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, Menko Polhukam atau Kapolri maupun Komisi III DPR RI. Presiden Joko Widodo juga harus segera mengambil sikap tegas.
Baca juga : Skandal Tali Air Oknum Sekdes Mencuat, Usai Tanam Benih Istri Muda Dicerai
Mengungkap ruang gelap yang sudah mengubur dan mencoreng wibawa peradilan secara terang -terangan, dengan melahirkan putusan perkara biasa diubah menjadi Pidana Khusus mengejar kepastian atau keadilan.
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan terhadap penegakan Supremasi hukum, guna mengkawal martabat peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena kasus yang alami terdakwa Irno tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi kepada orang lain.
Perkara Pidana Umum atau biasa berubah menjadi Pidana Khusus atas kasus menimpa terdakwa Irno di Medan, seakan memberikan sinyal adanya indikasi oknum Markus yang menguasai peradilan. Serta dapat meruntukan keadilan.
Terdakwa Irno sebagai Pemohon Peninjauan Kembali (PK) sudah mengajukan Memori Peninjauan Kembali (PK) Atas Putusan Mahkamah Agung (MA) RI Register Perkara Nomor : 887 K/Pid/2022 tertanggal 09 November 2022 terhadap JPU dari Kejaksaan Negeri Medan.
Terindikasi ada skenario besar yang menjadikan terdakwa kasus Pidana Umum (biasa) menjadi Pidana Khusus. Korban menilai kasus ini sangat kental bermuatan kepentingan oknum tertentu, dan bila terbukti dapat melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) karena telah merampas hak- hak kemerdekaan terdakwa.
Putusan perkara terdakwa Irno di Pengadilan Negeri (PN) Medan, sesuai salinan Putusan Perkara Pidana Biasa Nomor: 2961/Pid.B/2021/PN Mdn tanggal 12 Januari 2022. Putusan Perkara Nomor: 887 K/P/Pid/2022 tanggal 18 Januari 2023. Bahwa ditingkat Kasasi ia membuat nomor Perkara Pengadilan Negeri (Putusan N.O) sehingga tidak ada banding akan tetapi ke Kasasi langsung membuat nomor yang salah dari Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN Medan diubah menjadi Nomor : 296/Pid.B/2021/PN.Mdn sebanyak 21 kali.
Anehnya, karena tidak satu kali pun yang tertulis dengan benar yakni Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN.Medan. Bahwa ditingkat Kasasi JPU selaku Termohon Peninjauan Kembali membuat nomor Perkara PN (Putusan N.O atau Putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil) sehingga tidak ada lagi banding akan tetapi langsung ke Kasasi dengan membuat nomor yang salah dari Nomor: 2961/Pid.B/2021/PN Medan diubah menjadi Nomor: 296/Pid.B/2021/PN.Mdn sebanyak 21 kali tidak ada satupun yang tertulis dengan benar yakni Nomor: 2961/Pid.B/2021/PN. Medan.
Demikian dikatakan Lindawaty merupakan istri terdakwa Irno, kepada KORAN RADAR GROUP baru -baru ini dengan nada sedih atas kasus yang menimpa sang suami.
“Demikian juga pada Kontra Memori PK, ada putusan Tingkatan Banding yang diberikanya Nomor: 673/Pidsus/2015/PT. Mdn. Sedangkan perkara ini dari Putusan PN Medan langsung ke tingkat Kasasi (tidak ada ditingkat PT) karena Putusan PN Onstlag Van Alle Rechtvervolging. Maka Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya ditingkat Kasasi (Termohon PK). Fakta ini perlu saya sampaikan,” ujarnya lagi.
Putusan Pengadilan Tinggi yang dibuat JPU terindikasi terjadi rekayasa atau sinyal seakan- akan kasus ini sudah di attensikan. Bahwa Pemohon PK (IRNO) sudah mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan MA RI, Register Perkara No. 887 K/Pid/2022 Tanggal 09 November 2022 yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (Inkracht) diterima tanggal 14 Maret 2023.
Putusan Judex Juris MA RI tersebut mengandung adanya kekilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari Majelis Hakim MA RI yang memeriksa dan mengadili Perkara Pidana yang dimohonkan Kasasi oleh Termohon PK diketemukan bukti -bukti baru (Novum) yang bersifat menentukan Amar Putusan Judex Juris MA RI Register Nomor : 887 K/Pid/2022 tanggal 09 November 2022 atas nama Irno.
Dimana pemohon PK JPU dari Kejaksaan Negeri Medan, sebagai Termohon Peninjauan Kembali (Termohon PK). Pada Amar Putusan Judex Juris MA RI Register Nomor : 887 K/Pid/2022 Tertanggal 09 November 2022 Atas Nama IRNO. Pemohon PK berbunyi mengadili: mengabulkan permohonan Kasasi dari JPU. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2961/Pid.B/2021/PN.Mdn tanggal 12 Januari 2022.
Menyatakan terdakwa Irno telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan”, menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
“Anehnya, perkara yang didakwakan kepada Pemohon PK (Irno) Pasal 378 atau 372 KUHPidana tersebut diatas adalah Perkara Pidana Umum No. 2961/Pid.B/2021/ PN.Mdn, bukan Perkara Pidana Khusus/ Narkoba No. 296/Pid.B/2021/PN.Mdn yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara Pidana Umum Pemohon PK sebagaimana yang terurai /tertulis didalam Memori Kasasi Termohon PK yang ditulisnya sebanyak 21 (dua puluh satu) kali. Kenapa ini terjadi”, tegas Lindawaty penuh keheranan.
Perkara Pidana Nomor: 296/Pid.B/2021/PN.Mdn tertanggal 23 Februari 2021 adalah atas nama JPU Dewi Tarihoran, SH dengan Terdakwa Nicholas Asprila harus dikeluarkan dari berkas perkara pidana umum atas nama Pemohon PK Nomor: 2961/Pid.B/ 2021/PN.Mdn, karena telah mencampuradukan Perkara Pidana Umum Pemohon PK Nomor: 2961/Pid.B/ 2021/PN.Mdn dengan Perkara Pidana Khusus Orang Lain Nomor: 296/Pid.B/2021/ PN.Mdn yang bukan merupakan perkara Pemohon PK.
Surat ketua Pengadilan Negeri Medan No. W2.UI/1016A/HK.01/1/2022 tanggal 21 Januari 2022 kepada panitera MA RI perihal pernyataan Kasasi Perkara Pidana No. 2961/Pid.B/2021/PN.Mdn atas nama terdakwa Irno. Terbukti Kontra Memori Kasasi Pemohon PK tidak dikirimkan bersamaan dengan berkas perkara aquo, malahan berkas telah tercampur dengan Perkara Pidana Khusus No. 296/Pid.B/2021/PN.Mdn tertanggal 23 Februari 2021 atas nama JPU Dewi Tarihoran, SH dengan Terdakwa NICHOLAS ASPRILA sebagaimana terbukti ikut terkirim bukti 1 (satu) plastik bungkus kecil yang berisikan sabu-sabu dengan berat bruto 0,16 (nol koma enam belas) gram.
Barang bukti sebagaimana yang dimaksud Surat Ketua Pengadilan Negeri Medan Kelas I-A Khusus No.W2.UI/1016A/HK.01/1/2022 tertanggal 21 januari 2022 yang ditujukan kepada Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia pada halaman 1 “Mengadili” angka 5 alinea 1 yang tertulis – 1 (satu) plastik bungkus kecil yang berisikan sabu-sabu dengan berat bruto 0,16 (nol koma enam belas) gram (f/c terlampir-3 dalam berkas).
Biasanya setiap Perkara Narkotika setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap, maka barang bukti tersebut harus dimusnahkan sehingga dalam perkara pemohon PK. tersebut barang bukti sabu-sabu tersebut dari mana didapat. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang menyimpannya dan untuk apa kegunaannya, bahkan sabu-sabu seberat 0,16 gram dijadikan barang bukti dalam Perkara Pidana Umum No. 2961/Pid.B/ 2021/PN.Mdn.
Pada kontra memori JPU diduga sengaja lagi membuat kesalahan atas nomor Perkara yakni: Putusan Kasasi Nomor: 887 K/Pid/2023menjadi Nomor: 788 K/Pidsus/2016 yang hukumanya jauh lebih berat yakni hukuman mati. Hal –hal yang sudah jelas menurut hukum dilarang ditafsirkan lain.
Pada PK JPU diduga telah merubah Pasal pada tuntutanya yakni Pasal 378 KUHP diubah menjadi Pasal 183 KUHP agar hukuman terdakwa Irno semakin diperberat. Diduga ini merupakan suatu tanda atau sinyal dari oknum Markus yang sudah di atensikan.
“Hal ini tidak hanya terjadi pada kasus ini saja diduga bahkan terjadi pada Perkara lain mengalami hal yang sama demikian. Oleh karena itu, maka patut dan wajar jika kami berprasangka negatif bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang ada sebagai tanda yang merupakan sinyal bahwa perkara tersebut telah di atensikan,” ujar istri terdakwa.
Istri terdakwa Irno mengatakan ditingkat Kasasi membuat nomor Perkara Pengadilan Negeri (Putusan N.O) sehingga tidak ada banding akan tetapi ke Kasasi langsung membuat nomor yang salah dari Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN Medan diubah menjadi Nomor : 296/Pid.B/2021/PN.Mdn sebanyak 21 kali. Anehnya, tidak satu kali pun yang tertulis benar yakni Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN.Medan.
Sebagai orang awam, Lindawaty istri terdakwa Irno menyesalkan tindakan oknum -oknum tertentu mengubah nomor perkara dari nomor : 2961 menjadi nomor : 296 dengan sertamerta.
“Sesungguhnya pengadilan merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk mencari keadilan. Tapi dengan kondisi saat ini dengan mengubah -ubah nomor Perkara, harus kepada siapa lagi kami percaya”, tandasnya dengan nada sedih, dan serasa mendesak Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang bersifat Mandiri dan dalam pelaksanaanya bebas dari campur tangan kekuasaan lain, dapat mengambil sikap tegas.
Terhadap kasus Irno terdapat fakta Kasasi langsung membuat nomor yang salah dari Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN Medan diubah menjadi Nomor : 296/Pid.B/2021/PN.Mdn sebanyak 21 kali. Anehnya, tidak satu kali pun yang tertulis benar yakni Nomor : 2961/Pid.B/2021/PN.Medan”, tegasnya lagi dengan nada heran.
Jadi putusan Pengadilan Tinggi yang dibuat JPU adakah terindikasi terjadi rekayasa atau sinyal seakan- akan kasus ini sudah di Attensikan. Mencampuradukan sehingga terjadi perubahan perkara Pidana Umum Nomor: 2961/Pid.B/2021/ PN.Mdn, bukan Perkara Pidana Khusus/ Narkoba No. 296/Pid.B/2021/PN.Mdn yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara Pidana Umum Pemohon PK sebagaimana yang terurai /tertulis didalam Memori Kasasi Termohon PK yang ditulisnya sebanyak 21 (dua puluh satu) kali.
Bahwa Memori Kasasi Termohon PK yang ditulisnya sebanyak 21 (dua puluh satu) kali. Pemohon PK sangat keberatan dengan putusan dari Judex Juris karena terdapat kekilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sesuai dengan Pasal 263 Ayat (2) huruf (c) KUHAP.
Perkara Pidana Nomor: 296/Pid.B/2021/PN.Mdn tertanggal 23 Februari 2021 adalah atas nama JPU Dewi Tarihoran, SH dengan Terdakwa Nicholas Asprila harus dikeluarkan dari berkas perkara pidana umum atas nama Pemohon PK Nomor: 2961/Pid.B/ 2021/PN.Mdn, karena telah mencampuradukan Perkara Pidana Umum Pemohon PK Nomor: 2961/Pid.B/ 2021/PN.Mdn dengan Perkara Pidana Khusus Orang Lain Nomor: 296/Pid.B/2021/ PN.Mdn yang bukan merupakan perkara Pemohon PK.
Pada kontra memori JPU diduga sengaja lagi membuat kesalahan atas nomor Perkara yakni: Putusan Kasasi Nomor: 887 K/Pid/2023menjadi Nomor: 788 K/Pidsus/2016 yang hukumanya jauh lebih berat yakni hukuman mati. Hal –hal yang sudah jelas menurut hukum dilarang ditafsirkan lain.
Bahkan di PK JPU telah merubah Pasal pada tuntutanya yakni Pasal 378 KUHP diubah menjadi Pasal 183 KUHP agar hukuman terdakwa IRNO semakin diperberat. Diduga ini suatu tanda atau sinyal yang sudah di atensikan. Hal ini tidak hanya terjadi pada kasus ini saja diduga bahkan terjadi pada Perkara lain mengalami hal yang sama demikian.
Terhadap kasus yang menimpa terdakwa Irno banyaknya keluhan pencari keadilan tentang perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara perlu mendapat perhatian serius.
Salah satu yang disorot publik belakangan ini adalah soal integritas dan profesionalitas hakim yang masih jauh dari harapan. Untuk membasmi hakim -hakim nakal, Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberi tugas kepada Komisi Yudisial (KY), terutama menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
KY merupakan salah satu lembaga negara (selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) dalam bidang peradilan. KY harus mampu membangun budaya kontrol yang terukur agar hakim bermartabat dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan.
Fenomena maraknya hakim nakal tidak mungkin diberantas secara sendiri oleh KY. MA harus berperan aktif dan menerima hasil pemeriksaan KY secara gentlemen. Dalam berbagai kasus,penyimpangan hakim tidak berdiri sendiri tetapi terdesain dalam suatu mafia yang amat sulit dibuktikan, tetapi begitu nyata dirasakan publik.
Untuk membasmi hakim nakal, KY diberi senjata baru setelah revisi Undang-Undang KY disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).KY dapat meminta bantuan aparat untuk melakukan penyadapan terhadap hakim nakal, memanggil paksa saksi, bahkan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi kepada MA.
Bila terdapat perbedaan sikap antara KY dan MA atas hasil pemeriksaan, keduanya secara bersama memeriksa hakim yang bersangkutan. KY juga dapat menganalisis putusan hakim yang kemungkinan dijatuhkan karena diduga terjadi pelanggaran kode etik hakim. Meski senjata baru ini belum sesuai harapan publik, tetapi paling tidak bisa meredam konflik antar-institusi sekaligus menjaga kualitas hakim dalam menjatuhkan putusan.
Pentingnya pengawasan hakim karena publik merasakan betapa sulitnya mendapatkan pelayanan yang jujur dan berkeadilan bila masuk ke pengadilan.
KY tidak mungkin mengungkap jebakan mafia peradilan jika tidak diberi wewenang yang kuat. Misalnya, mengapresiasi perilaku hakim yang menyimpang dengan meneliti putusannya.
Apakah dalam putusan fakta-fakta yang terungkap di depan sidang betul -betul diapresiasi dalam pertimbangan hukum atau malah diabaikan. Pengabaian fakta hukum merupakan bukti tidak profesionalnya seorang hakim, bahkan termasuk salah satu bentuk pelanggaran perilaku hakim.
Absolutisme Pengadilan
Perang terhadap hakim nakal harus terus digelorakan, agar para pencari keadilan bisa menikmati keadilan yang sesungguhnya. Perkara yang masuk ke pengadilan tidak dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan keuntungan finansial. Peradilan Indonesia harus bebasdari “industrialisasi hukum” sebagaimana dikritisi mantan hakim Amerika Serikat,Harold Rothwax dalam bukunya Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System.
Apabila perkara yang diperiksa di pengadilan diformat laksana “mesin industri”, niscaya pengadilan hanya akan mengejar “kepastian” dengan mengabaikan “keadilan”.
Akibatnya, hukum tidak akan pernah mencapai tujuan asasinya lantaran yang diburu hanyalah kemenangan dengan segala macam cara. Pengadilan keluar dari jalurnya sebagai tempat pembuktian kebenaran, hanya berperan sebagai medan pertarungan untuk “kemenangan dan kekalahan”.
Pengadilan tidak akan pernah berwibawa di mata publik, jika hakim abai membaca dinamika masyarakat. Hakim tidak boleh hanya jadi terompet UU atau sekadar memahami apa yang tertulis.
Yang juga penting dimaknai adalah rasa keadilan (keadilan substansial) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Harapan itu bukan berarti hakim harus menghukum terdakwa tanpa kesalahan atau membebaskan terdakwa tetapi terbukti bersalah. Apabila hakim mengabsolutkan tujuan menang-kalah, bukan benar-salah,akan membuat publik berpaling dari pengadilan. Jika ini terjadi, akan semakin sulit mengendalikan hukum lantaran publik mengadili sendiri kasus hukum yang dialaminya.
Baca juga : Kapolres Pelabuhan Belawan Diminta Tindak CC Pemilik Judi Tembak Ikan
Padahal, hukum harus bersinergi dengan nilainilai moral sebagai cerminan fundamental hukum. Di situlah peran hakim yang sesungguhnya, konstruksi hukum dikembalikan pada bentuknya yang ideal dengan menelurkan putusan yang bisa diterima karena terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai alasan klasik dari hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terdakwa korupsi karena dakwaan jaksa lemah, adalah wujud absolutisme pengadilan yang perlu diluruskan.
Kalaupun dalam realitas pengadilan bukan institusi netral, tetapi putusannya harus memberikan keadilan, memiliki fungsi “social engineering” agar masyarakat merasakan manfaat dari putusan itu.
Kita tidak ingin mafia peradilan terus menerus menjebak kebebasan hakim ke ruang gelap dalam memutus perkara.
Komisi Yudisial berdasarkan kewenangannya memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik sebagai bagian bentuk laporan masyarakat yang akan ditindaklanjuti untuk dianalisis, apakah ada potensi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) atau tidak.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi KY Jln. Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat, (021) 3906189 www.komisiyudisial.go.id
email: humas@komisiyudisial.go.id. (KRO/RD/TIM)