Keuangan PTPN Grup Setelah Holding Hutang Lebih Tinggi (1)

95

RADARINDO.co.id – Medan : Kondisi keuangan PTPN Grup kabarnya belum mengalami perbaikan setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan. Tujuan pembentukan Holding BUMN Perkebunan yang dimuat dalam kajian pembentukan Holding BUMN Perkebunan, yang telah disetujui pada 2014 oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, adalah untuk meningkatkan kinerja, daya saing global dan mengatasi permasalahan BUMN Perkebunan.

Berdasarkan keterangan sumber secara tertulis menyebutkan, permasalahan BUMN Perkebunan yang disebut dalam kajian tersebut antara lain likuiditas dan profitabilitas yang masih rendah, solvabilitas menurun. Pertumbuhan hutang lebih tinggi dari pertumbuhan aktiva yang berdampak pada struktur modal, produksi dan produktivitas dibawah norma standar, serta perluasan areal dan pengembangan usaha berjalan lambat.

Baca juga: KPK Diminta Usut PTPN VIII Kontrak Pengurusan HGU, HPL, dan HGB Rp23.293.770.000

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, PTPN III (Persero) ditunjuk menjadi Holding BUMN Perkebunan, pada Tanggal 17 September 2014. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah untuk menilai efektivitas PTPN III (Persero) dalam meningkatkan kinerja PTPN Grup Tahun 2015 sampai Semester I 2019 dengan sasaran pemeriksaan adalah menilai kinerja PTPN Grup sebelum dan setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan.

Berdasarkan sajikan rasio keuangan PTPN Grup tahun 2010 sampai Semester I 2019. Rasio keuangan yang disajikan terbatas pada rasio keuangan parent yaitu rasio keuangan PTPN I sampai XIV tanpa anak-anak perusahaan PTPN Grup.

Berdasarkan informasi yang disampaikan sumber RADARINDO secara tertulis menjelaskan, rasio keuangan tersebut disajikan oleh Kepala Divisi/Bagian Akuntansi/ Keuangan PTPN I sampai XIV yang bersumber data dari Laporan Keuangan (LK) audited untuk tahun 2010 sampai 2018, dan LK Unaudited untuk Semester I tahun 2019.

Analisis rasio keuangan adalah proses pengamatan indeks yang berhubungan dengan akuntansi pada laporan keuangan dengan tujuan untuk menilai kinerja keuangan suatu perusahaan. Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran informasi mengenai posisi keuangan dan kinerja perusahaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengambil keputusan bisnis.

Analisa rasio likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas PTPN Grup, bahwa rasio likuiditas merupakan rasio keuangan yang digunakan untuk menjelaskan kinerja perusahaan dalam mengelola aset lancar dan utang lancar. Dalam rasio likuiditas, analisis dapat dilakukan dengan menggunakan current ratio, quick ratio dan cash ratio.

Namun, untuk mengukur kinerja likuiditas PTPN Grup, tim pemeriksa hanya menggunakan current ratio dan quick ratio, karena cash ratio merupakan rasio likuiditas yang paling ketat dan konservatif terhadap kemampuan perusahaan dalam menutupi hutang atau kewajiban jangka pendeknya jika dibandingkan rasio-rasio likuiditas lainnya (current ratio dan quick ratio).

Hal ini dikarenakan cash ratio hanya memperhitungkan aset atau aktiva lancar jangka pendek yang paling likuid yaitu kas dan setara kas yang paling mudah dan cepat untuk digunakan dalam melunasi hutang lancarnya. Cash ratio sebenarnya tidak begitu populer dalam analisis likuiditas seperti current ratio dan quick ratio karena kegunaanya juga sangat terbatas.

Current ratio menunjukkan likuiditas suatu perusahaan yaitu seberapa mampu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya menggunakan aset jangka pendeknya. Angka yang lebih tinggi menandakan bahwa operasi perusahaan sehari-hari tidak akan terpengaruh oleh masalah modal kerja atau semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk menutupi kewajiban jangka pendeknya.

Current ratio perusahaan yang kurang dari satu atau kurang dari 100% adalah masalah yang harus diperhatikan. Diketahui bahwa sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2010 sampai 2014.

PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas adalah PTPN I, II, dan XIV yaitu rata-rata current ratio tahun 2010 sampai 2014 dibawah 60%. Sedangkan PTPN V, IX, XI, XII, dan XIII rata-rata current ratio tahun 2010 sampai 2014 diatas 60%.

Namun masih dibawah 100%, kemudian PTPN yang current ratio diatas 100% adalah PTPN III, IV, VI, VII dan VIII. Setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2015 sampai semester I 2019, PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas yaitu current ratio dibawah 60% adalah PTPN I, II, VII, VIII, XIII dan IV.

Untuk PTPN VII dan VIII sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan rata-rata current ratio diatas 100%. Namun setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan mengalami penurunan cukup signifikan menjadi dibawah 60%. PTPN yang rata-rata current ratio tahun 2015 sampai semester I 2019 diatas 60% dan dibawah 100% yaitu PTPN V, VI, IX, XI, dan XII.

Baca juga: PTPN VIII Kelola Lahan dan Pabrik Diduga Belum Didukung Sertifikat

Sedangkan PTPN yang current ratio diatas 100% adalah PTPN III, IV dan X. Berdasarkan grafik dan tabel diatas diketahui bahwa sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2010 sampai 2014, PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas adalah PTPN I, II, dan XIV yaitu rata-rata current ratio tahun 2010 Sampai 2014 dibawah 60%.

Sedangkan PTPN V, IX, XI, XII, dan XIII rata-rata current ratio tahun 2010 sampai 2014 diatas 60% namun masih dibawah 100%. Kemudian PTPN yang current ratio diatas 100% adalah PTPN III, IV, VI, VII dan VIII.

Setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2015 sampai semester I 2019, PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas yaitu current ratio dibawah 60% adalah PTPN I, II, VII, VIII, XIII dan IV. Untuk PTPN VII dan VIII sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan rata-rata current ratio diatas 100%.

Namun setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan mengalami penurunan cukup signifikan menjadi dibawah 60%. PTPN yang rata-rata current ratio tahun 2015 sampai semester I 2019 diatas 60% dan dibawah 100% yaitu PTPN V, VI, IX, XI, dan XII. Sedangkan PTPN yang current ratio diatas 100% adalah PTPN III, IV dan X.

Pada tahun 2015 PTPN IX, X, XI dan XII mengalami kenaikan current ratio cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut disebabkan karena pada tahun 2015, PTPN IX, X, XI dan XII menerima dana PMN berkisar Rp650 miliar sampai Rp1 triliun. PTPN VII juga menerima dana PMN namun hanya 175 miliar sehingga tidak berpengaruh secara signifikan pada kenaikan current ratio.

Dilihat dari rata-rata current ratio PTPN I sampai XIV sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2010 sampai 2014 berkisar 84,89% dan setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2015 sampai semester I 2019 berkisar 71,87%.

Dengan demikian, terbentuknya Holding BUMN Perkebunan belum memberikan dampak signifikan pada perbaikan likuiditas dilihat dari sisi current ratio. Trend yang terbentuk adalah terjadinya penurunan likuiditas setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan, terutama PTPN VII dan VIII yang awalnya likuiditasnya baik diatas 100% menjadi menurun dibawah 60% setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan.

Quick ratio digunakan untuk mengukur apakah perusahaan memiliki aset lancar (tanpa harus menjual persediaan) untuk menutup kewajiban jangka pendeknya. Semakin tinggi quick ratio perusahaan, maka semakin baik kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban lancarnya tanpa mengurangi persediaan.

Grafik quick ratio PTPN I sampai XIV untuk tahun 2010 sampai 2014 sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan dan tahun 2015 sampai semester I 2019. Setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan, secara teori atau praktek manajeman yang baik, perusahan dianggap dalam kondisi likuiditas yang baik jika quick ratio minimal antara 0,8 sampai 1 atau (80% sampai 100%). Posisi likuiditas PTPN I sampai XIV dilihat dari quick ratio.

Sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2010 sampai 2014, PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas adalah PTPN I, II, V, VII, IX, XI, XII, XIII dan XIV yaitu rata-rata quick ratio tahun 2010 sampai 2014 dibawah 60%, untuk PTPN VI quick ratio diatas 60%. Namun masih dibawah 80%.

Sedangkan PTPN yang quick ratio diatas 80% adalah PTPN III, IV dan X. Setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2015 sampai Semester I 2019, PTPN yang mengalami kesulitan likuiditas, quick ratio dibawah 60% yaitu PTPN I, II, V, VII, VIII, IX, XI, XII, XIII dan XIV, untuk PTPN VI quick ratio diatas 60% namun masih dibawah 80%.

Sedangkan PTPN yang quick ratio diatas 80% adalah PTPN III, IV dan X. Pada tahun 2015 PTPN X mengalami kenaikan quick ratio yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, disebabkan karena pada tahun 2015 PTPN X menerima dana PMN sebesar Rp975 miliar yang sampai akhir tahun 2015 masih tercatat sebagai kas (belum digunakan), sehingga berpengaruh secara signifikan pada kenaikan quick ratio.

Baca juga: Erick Thohir Berpeluang Dipanggil Soal Korupsi Tata Kelola Minyak

PTPN I, II, VII, XIII dan XIV setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan rata-rata quick ratio mengalami penurunan cukup signifikan yaitu quick ratio dibawah 20%. Rata-rata quick ratio PTPN I sampai XIV sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2010 sampai 2014 berkisar 53,13% dan setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan periode tahun 2015 sampai Semester I 2019 berkisar 50,97%.

Dengan demikian, terbentuknya Holding BUMN Perkebunan belum memberikan dampak signifikan pada perbaikan likuiditas dilihat dari sisi quick ratio. Rasio Solvabilitas merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam rasio solvabilitas, analisis dapat dilakukan dengan menggunakan Debt Ratio dan Debt to Equity Ratio (DER). Debt Ratio mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan yang dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva, atau mengukur persentase berapa besar dana yang berasal dari utang.

Utang disini adalah utang perusahaan, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek. Semakin rendah Debt Ratio, maka tingkat keamanan dananya menjadi semakin baik. Dari grafik dan tabel terlihat bahwa sebelum pembentukkan Holding BUMN Perkebunan Tahun 2014 menunjukan beberapa PTPN yaitu PTPN II,VII, dan XIV memiliki Debt Ratio diatas 100%.

Hal ini berarti posisi hutang PTPN tersebut lebih besar dari total aktiva yang dimiliki dan ekuitas bernilai negatif. Selain itu, terlihat juga bahwa pada Tahun 2014, PTPN II,VII, dan XIV mengalami kenaikan Debt Ratio yang cukup signifikan.

Kenaikan tersebut disebabkan pada Tahun 2014, PTPN II,VII, dan XIV mengalami pertumbuhan/kenaikan hutang, namun tidak diikuti oleh kenaikan aset, melainkan terjadi penurunan aset. Setelah pembentukkan Holding BUMN Perkebunan, Debt Ratio diatas 100% yaitu PTPN XIII dan XIV.

Untuk PTPN XIII setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan belum mengalami perbaikan dari sisi Debt Ratio, melainkan Debt Ratio PTPN XIII semakin memburuk yaitu yang awalnya sebelum terbentuk Holding BUMN Perkebunan pada Tahun 2014, Debt Ratio sebesar 96,30% dan setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan mencapai 147,13% pada akhir Juni 2019.

Selanjutnya, dilihat dari rata-rata Debt Ratio tahun 2010 s.d 2014 sebelum terbentuknya Holding BUMN Perkebunan dibandingkan dengan rata-rata Debt Ratio tahun 2015 sampai semester I 2019 setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan, PTPN I,V,VI dan XIII mengalami kenaikkan Debt Ratio, yang berarti bahwa pertumbuhan hutang masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan aset.

Untuk rata-rata total seluruh PTPN Grup, Debt Ratio setelah terbentuknya Holding BUMN Perkebunan yaitu rata-rata Debt Ratio tahun 2015 sampai semester I 2019 sebesar 63,44% mengalami penurunan dibanding rata-rata tahun 2010 sampai 2014 sebesar 75,44%, yang berarti pertumbuhan aset lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan hutang.

Namun pertumbuhan aset PTPN Grup pada tahun 2015 sampai semester I 2019 sebesar Rp88.506.565 juta, diantaranya sebesar Rp41.869.986 juta atau 47,31% merupakan kenaikan aset karena adanya revaluasi aset di Tahun 2015 sampai 2018.

Sementara itu, Direktur Utama Holding PTPN III yang dikonfirmasi, sesuai surat Nomor: 40.ist/RADARINDO.co.id/KB/III/2025, tanggal 07 Maret 2025, belum memberikan tanggapan. (KRO/RD/TIM)